Meruwat Kebersamaan

Sore menjelang senja. Seperti biasa, cangkruk sambil nyruput teh poci khas nasgitel di angkringan mbakyu yang masih ayu, saya mengedarkan mata. Dalam sekali pandang tampak sekerumun anak-anak muda dan seorang perempuan paruh baya. Sebab berjarak sepelemparan batu, maka obrolan dan gerak-gerik mereka pun saya tahu.

"Ngalkamdulilah, entok mayan okeh dina iki yak. Inyong seneng kiyek. Rika sing andum Yu Darmi."

Saya tersenyum. Dari logat ngapaknya, saya menduga di antara mereka berasal dari daerah kulonan. Sekitaran Tegal. Tapi nama Yu Darmi mengingatkan saya pada tokoh serial komedi kartun animasi yang langganan kasbon di warung Bu Inah, istri Pak Somat. Atau mungkin anak-anak muda dalam kerumunan itu ada Dudung, Aldo, dan Nipon. Hayya, owe olang tak tahulah.

Mereka lantas beringsut. Menuju meja dan duduk di kursi bersanding dengan saya. Dari kaos yang dikenakan, tertulis "Angklung New Kharisma". Musisi jalanan yang tak biasa. Dalam hitungan menit, saya bisa gantian berayun tawa. Berbagi ceria dengan cerita.

Beberapa di antara mereka memang bukan warga pribumi Jogja. Bukan pula saudara sebab berasal dari kota berbeda. Datang ke kota budaya dengan tujuan sama. Memperjuangkan nasib. Semula ada yang jadi peloper koran, pengasong jajanan, pengamen angkutan, dan sejenisnya. Nasib adalah kesunyian masing-masing. Nasib pula yang mempertautkan mereka dalam simpul persaudaraan. Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi.

Orang lain menjadi saudara. Sementara acap ditemui ikatan batih saudara justru bubrah diakibatkan amuk perkara.
Mereka datang dan pulang bersama. Kecuali Yu Darmi, mereka pun tinggal di kontrakan yang sama. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Tapi magrib keburu datang. Kita pun sama-sama bergegas pulang.(*)

Post a Comment

Previous Post Next Post