Workshop Pengembangan Keprofesian Guru
Kegiatan Guru dalam Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (Foto: Dokumen Pribadi)
Membaca tulisan Usman Roin berumbul “Menjadi Guru Segudang Karya” yang dimuat Jawa Pos (16/07/2017), mengingatkan saya pada tema yang ditahbiskan pada peringatan Hari Guru Nasional (HGN): Guru Mulia Karena Karya. Tema yang dibidani oleh Anies Baswedan ketika menjabat sebagai Mendikbud itu diusung dua tahun berturut-turut. Bukan tanpa alasan. Sebab, semangat yang ingin digelorakan masih sangat relevan dengan kenyataan hari ini. Bahwa, profesi guru memang sangat mulia. Namun, kemuliaan tersebut tidak tergantung pada seberapa banyak materi yang dimiliki akibat tunjangan profesi, tapi pada seberapa “karya” yang sudah dilakukan dan dihasilkan.
baca juga: Mengapa Guru Harus Menulis?
Masih belum hilang dari ingatan kita, ketika pertama kali diangkat sebagai Mendikbud sebelum akhirnya di-reshufle pada pemerintahan Joko Widodo, Anies Baswedan langsung “bergerak” dengan mengumpulkan Kepala Dinas Pendidikan se-Indonesia (1/12/2014). Dalam paparannya, Anies mengistilahkan mutu pendidikan Indonesia dalam keadaan gawat darurat. Data-data pun disodorkan. Misalnya hasil pemetaan Kemdikbud menunjukkan 75 persen pendidikan di Indonesia tidak memenuhi standar pendidikan minimal (SNP), nilai rata-rata hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang masih jauh dari standar yang diharapkan, kekerasan di dunia pendidikan yang kerap terjadi, dan lain sebagainya.

Yang tentu saja membuat sedih adalah data tentang literasi yang tak mengalami perkembangan dari hari ke hari. UNESCO tahun 2012 menyebutkan, hanya satu dari seribu orang Indonesia yang memiliki minat baca. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh studi Programme for International Study Assessment (PISA). Tahun 2009, Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396. PISA 2012 menempati peringkat 64 dari 65 negara. Dan PISA 2015, Indonesia berada di urutan 69 dari 76 negara, masih kalah dengan Vietnam yang bertengger pada posisi ke-12. Menyedihkan bukan?

Seperti diketahui, PISA (Programme for International Study Assessment) adalah studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa sekolah berusia 15 tahun. Studi ini dilakukan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang berkedudukan di Paris, Perancis. PISA merupakan studi yang dilaksanakan tiga tahun sekali mulai tahun 2000, 2003, 2006, 2009, 2012, dan 2015. Ironisnya, hasil studi PISA selalu meletakkan Indonesia pada posisi yang memprihatinkan. Artinya, praktik pendidikan sekolah di Indonesia memang belum memperlihatkan fungsinya sebagai tempat yang menjadikan warganya terampil membaca untuk keperluan belajar sepanjang hayat.

Berdasarkan kenyataan itulah, Anies Baswedan kemudian menggulirkan Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, yang salah-satu poinnya adalah kewajiban membaca buku (selain buku pelajaran) selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Permen yang kemudian melahirkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) itu bertujuan menumbuh-kembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah.

Yang patut digaris-bawahi, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang didengung-dengungkan itu mustahil bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan jika para pemangku kepentingan tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Jika ruh utama Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah menumbuhkan-kembangkan budaya literasi di lingkungan warga sekolah, maka semua pemangku kepentingan (dan terutama guru) harus betul-betul concern terhadap masalah tersebut. Sebab, bagaimana mungkin menggiatkan Gerakan Literasi Sekolah, jika guru sendiri enggan, -untuk tidak mengatakan malas-, dalam urusan membaca dan menulis.
baca juga: Persiapkan Karya Anda untuk Perlombaan Inobel 2019
Pada titik inilah, karya guru menjadi sangat penting. Karya tersebut seyogyanya bukan hanya berhenti pada karya nyata mengantarkan generasi bangsa pada cemerlangnya masa depan dengan kemampuan melakukan inovasi dalam kegiatan pembelajaran. Lebih dari itu, akan lebih meng-abadi jika karya itu dimonumenkan dalam bentuknya yang lain, seumpama dalam lekukan tulisan yang tak hanya menginspirasi peserta didik, tapi juga manusia lain pada umumnya. Jika ditarik pada garis yang jauh, karya guru tersebut tak akan mudah hilang ditelan zaman (verba volant scripta manent), dan tentu saja bisa dijadikan warisan keilmuan pada generasi sesudahnya.

Pada sisi yang lain, pemerintah sebagai penentu kebijakan juga harus menyediakan ruang bagi guru untuk mengembangkan kreatifitasnya. Maka, adalah hal menarik dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah melalui Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementrian Pendidikan Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan secara nasional yang bisa diikuti oleh guru-guru dari seluruh indonesia. Kegiatan yang digawangi oleh Subdit Kesharlindung Dikdas dan Dikmen semacam Seminar Nasional, Simposium, Workshop Literasi, Workshop Inovasi Pembelajaran, dan lain-lain itu terbuka untuk seluruh guru. Syaratnya satu, guru harus memiliki kemauan dan kemampuan menuangkan ide dan gagasannya terkait pembelajaran dalam sebuah karya tulis.

Begitulah, pemerintah memang seharusnya menyelenggarakan kegiatan taktis dan strategis terkait literasi untuk merangsang minat menulis guru. Kompetensi dasar dalam literasi adalah membaca dan menulis. Dua hal itu harus terus dirangsang perkembangannya agar guru memiliki kemampuan lebih. Ketika guru terbiasa membaca dan menulis, tentu dengan mudah ia bisa memotivasi dan menularkan kebiasaan itu kepada murid yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan sendirinya, Gerakan Literasi Sekolah yang didengungkan akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Bagaimana menurut Anda?(*)

Penulis: Em.Syuhada', Penulis Lepas, kerani di www.komunitasngopi.com

Post a Comment

Previous Post Next Post