Tahun 2017, Admin komunitasngopi.com berkesempatan mengikuti Bimbingan Teknis Perlindungan Guru SD Angkatan II yang diselenggarakan di Hotel Grand Whiz Jakarta. Di bawah ini adalah naskah artikel yang admin kirimkan. Bersyukur sangat bahwa artikel ini lolos seleksi. Bagi yang berkeinginan mengikuti Bimtek Perlindungan Guru Gelombang I Tahun 2019 yang diselenggakan oleh Kesharlindung Dikdas, barangkali artikel ini bisa dijadikan referensi.

PENTINGNYA PERLINDUNGAN PROFESI BAGI SOSOK OEMAR BAKRI

Oleh : Suhadaq, S.Pd.I
Guru PAI SD Negeri 3 Talunrejo Kec. Bluluk Lamongan Jawa Timur

Bimtek Perlindungan Guru Tahun 2018

Dalam dunia kependidikan, keberadaan guru untuk mencerdaskan anak bangsa tak bisa dinafikan. Kewajiban guru bukan hanya sekedar mengajar, tapi bagaimana membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, baik secara intelektual, moral, maupun spiritual. Itulah sebabnya, seorang guru dituntut tidak hanya mampu melakukan transformasi pengetahuan (transfer of knowledge). Lebih dari itu, ia juga harus bisa mentransformasikan “nilai-nilai” kepada murid yang menjadi tanggung-jawabnya (transfer of value). Pada titik inilah, tujuan pendidikan nasional diharapkan dapat diwujudkan.

Disebutkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung-jawab. Guru sebagai sosok yang berhadapan langsung dengan peserta didik tentu memiliki peran yang strategis untuk mewujudkan tujuan itu.

Namun sayangnya, guru kerapkali dihadapkan pada persoalan serius saat menjalankan tugas dalam beberapa tahun terakhir. Disamping harus meningkatkan profesionalisme, ia juga disodorkan dengan tantangan zaman yang semakin kompleks, seiring dengan pergeseran cara pandang masyarakat dalam dunia pendidikan. Apalagi dengan adanya Undang-undang Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), membuat posisi guru kian dilematis. Bagaimana tidak? Ketika guru dituntut mengantarkan siswa menjadi manusia seutuhnya, ia juga dibayang-bayangi dengan taring tajam Undang-undang Perlindungan Anak. Hari-hari ini, betapa sering kita dengar berita guru dilaporkan ke kepolisian gara-gara melakukan proses pendisiplinan.

Pada saat yang sama, guru juga kerap menjadi korban kekerasan dari pihak lain. Kita tentu masih belum lupa dengan kasus Pak Dasrul, seorang guru SMK Negeri 2 Makassar pada 2016 silam. Akibat menegur salah-satu siswa yang tidak disiplin dalam kegiatan pembelajaran, Pak Guru Arsitek itu menjadi korban pengeroyokan oleh anak dan orang tua hingga berdarah-berdarah. Tidakkah hal tersebut patut dijadikan bahan perenungan bersama?

Memang, banyaknya kasus kriminalisasi terhadap guru dalam kurun waktu terakhir membuat sosok Oemar Bakri itu menjadi was-was ketika menjalankan tugas. Akibatnya, guru masa kini menjadi masa bodoh ketika melihat ada siswanya yang tidak disiplin. Hal tersebut tentunya tidak dapat dibiarkan. Sebab apapun keadaannya, murid tetaplah menjadi tanggung-jawab guru selama masih berada dalam wilayah kepengasuhannya. Bukankah ini adalah pekerjaan besar yang harus dipikirkan bersama antara orang tua, sekolah, pemerintah, dan juga masyarakat?

Sebetulnya, jika berbicara masalah perlindungan profesi, UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah mengatur hal tersebut. Dijelaskan dalam Pasal 39, bahwa pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Perlindungan terhadap guru tersebut meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Sedangkan masalah kewenangan, Pasal 39 PP Nomor 74 Tahun 2008 menegaskan, bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya. Sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.

Artinya, guru memiliki keleluasaan, dalam tanda kutip, mengambil tindakan bagi siswa yang indisipliner. Masalah yang kemudian timbul adalah ketika guru dengan sebab tertentu melakukan tindakan sepele semacam mencubit, menjewer telinga, dan lain-lain dalam prosesi pembelajaran, yang kemudian dilaporkan sebagai tindakan kekerasan. Tidakkah hal tersebut berlebihan?

Memang tak dibenarkan jika tindakan yang disebut kekerasan itu mengarah pada kekejaman yang menciderai fisik dan psikis peserta didik. Namun jika yang dilakukan guru masih dalam batas kewajaran, dan tentunya dalam proses pembelajaran agar siswa dapat berubah menjadi lebih baik, orang tua semestinya mendukung demi perkembangan pendidikan anak ke depan. Alangkah naif jika hanya persoalan sepele, orang tua dengan begitu gegabah dan tergesa-gesa melakukan tindakan tanpa pertimbangan yang matang.

Problematika pendidikan memang tak ada habisnya. Namun pada Maret 2017, para guru boleh tersenyum lega. Dengan diberlakukannya Permendikbud No. 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, payung hukum perlindungan profesi guru menjadi semakin kuat. Ada empat jenis perlindungan yang diberikan, yaitu perlindungan hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak atas kekayaan intelektual. Untuk menindaklanjuti permen tersebut, seyogyanya segera dibentuk pusat layanan perlindungan guru, sehingga guru memiliki alamat yang jelas ketika ingin mengadukan masalah dalam menjalankan profesinya.(*)

Post a Comment

Previous Post Next Post