Keutamaan Puasa Bagi Manusia
Meme Tentang Puasa Yang Beredar di Media Sosial
Tak terasa Ramadan kembali menyapa kehidupan manusia. Bulan yang di dalamnya Tuhan menyediakan rahmat, berkah, dan maghfirah itu hadir kembali di tengah situasi sosial politik bangsa yang carut marut oleh berbagai problematika tak berkesudahan. Tragedi-tragedi kemanusiaan kian merajalela, korupsi menggurita, perilaku budaya yang hina dina, serta berbagai kemungkaran sosial lainnya.

Apalagi bangsa ini baru saja usai menyelenggarakan hajat lima tahunan, tensi politik masih meninggi. Saling hujat antar pendukung tak juga selesai. Manusia hilang manusianya, yang tertinggal adalah cebong dan kampret. Bahkan hingga hari ini, masing-masing kubu masih saling serang, dan bersikukuh dengan kebenarannya masing-masing.

Dalam konteks inilah, Ramadan adalah momentum yang tepat bagi seluruh elemen bangsa untuk melakukan reinstropeksi terhadap pola keberagamaannya dalam konteks yang lebih manusiawi. Hadirnya Ramadan, seyogyanya mampu mengendapkan "yang bergejolak", hingga yang tampak adalah keheningan dan kebeningan.

Salah satu keutamaan Ramadan adalah diwajibkannya puasa sebagai upaya agar menjadi insan bertaqwa. Puasa adalah media pendadaran agar manusia mampu mencapai derajat lebih tinggi. Namun demikian, dibutuhkan pemahaman yang tepat agar puasa tak hanya memiliki fungsi meningkatkan kesalehan personal semata.

Ada beberapa hal yang menyebabkan puasa memiliki kandungan nilai yang begitu tinggi dalam kehidupan. Pertama, puasa mengajarkan kepada pelakunya untuk mampu mengendalikan diri. Dengan mencegah makan dan minum, nafsu syahwat, serta hal-hal dilarang lainnya sejak terbit fajar hingga matahari terbenam, adalah latihan batin yang efektif bagi manusia untuk mengontrol mental dan sikap hidupnya.

Hal ini tak hanya diperlukan, bahkan menjadi sesuatu yang penting di tengah arus global kehidupan. Bukankah modernisasi dengan industri kapitalismenya cenderung mengajarkan manusia untuk melampiaskan, dan bukan mengendalikan?

Kedua, puasa adalah ibadah rahasia yang hanya diketahui oleh Tuhan dan pelaku puasa. Saking rahasianya, Tuhan berfirman dalam sebuah Hadits Qudsi,“ Puasa adalah untukKu, dan Aku sendiri yang akan membalasNya.” Sedemikian romantisnya Tuhan dalam merespon puasa, sehingga Dia, yang segala hamparan kehidupan langit dan bumi tergenggam di tanganNya berjanji akan memberi balasan sendiri pada pelaku puasa.

Pada sisi ini, nilai-nilai kejujuran, kesetiaan mengikuti hati nurani menjadi pertimbangan utama. Boleh saja manusia mengatakan dirinya berpuasa, walaupun pada hakekatnya tidak. Tapi percayalah, akan terjadi konflik internal sedemikian dahsyat dalam batinnya, karena manusia telah mengingkari hati nuraninya.

Ketiga, puasa mengajarkan kepedulian kepada sesama. Lazim diketahui, puasa identik dengan lapar dan dahaga. Dewasa ini, ditengah himpitan kehidupan yang semakin menyesakkan di negeri ini, harga-harga kebutuhan pokok yang kian tak terjangkau, serta akumulasi problem-problem sosial lainnya menyebabkan jumlah penduduk miskin semakin bertambah.

Salah satu fungsi puasa adalah melatih kepekaan sosial. Sudah barang tentu bahwa pelaku puasa hanya merasakan perihnya lapar dan dahaga dalam skala waktu yang telah ditentukan. Namun, bagi mereka yang terjebak kemiskinan dan ketidakberuntungan dalam hidupnya, rasa lapar dan dahaga adalah menu utama yang menjadi icon keseharian mereka.

Selama ini, salah satu kelemahan umat islam adalah gampang terpeleset pada kesalahan cara berpikir. Ibadah mahdhah misalnya. Seringkali ibadah tak dipahami sebagai sarana mendekatkan diri pada Sang Pencipta (tentu saja melalui hubungan horisontal dengan sesama manusia). Justru ibadah diletakkan sebagai tujuan akhir yang harus dicapai.

Maka, tak penting apakah shalat akan membawa dampak seperti mencegah perbuatan keji dan munkar. Justru keberhasilan shalat diukur dari kontinuitas masing-masing pribadi sampai pada tingkat kesalehan personal yang tak memiliki kaitan apapun dengan kehidupan pada tingkatan praktis.

Begitu juga puasa, ketika puasa diletakkan sebagai tujuan dan bukan sarana. Maka, puasa tak memiliki kontribusi apa-apa dalam kehidupan. Puasa hanyalah input. Outputnya adalah pribadi yang bertaqwa. Predikat taqwa bukanlah sesuatu yang digapai dengan menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, dengan amalan-amalan sunnah secara formal tanpa upaya mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Justru aktualisasi Idul Fitri adalah manusia pasca Ramadan yang sanggup menjalani kehidupan dengan mengaktualisasikan nilai-nilai Ramadan sejak 1 Syawal hingga Ramadan pada tahun berikutnya.

Memang, harus ada pemaknaan yang serius terhadap masalah ini. Sebab tanpa itu, manusia akan terjebak pada rutinitas budaya setiap kali Ramadhan tiba. Bukankah Rasulullah telah memberikan gambaran, betapa banyak orang berpuasa yang tak memperoleh apa-apa dari puasanya, selain lapar dan dahaga semata. Wallahu a’lam bi ash-shawab.***

penulis: Em. Syuhada, admin www.komunitasngopi.com

Post a Comment

Previous Post Next Post