Peraturan BKN Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Mutasi
Ilustrasi: Pegawai ASN di sebuah instansi Selesai Melaksanakan Upacara Peringatan Hari Korpri
Mutasi Pegawai, Musibah atau Berkah?
Sahabat Kompi yang budiman. Pertanyaan di atas mungkin pernah hinggap di benak kita. Apalagi bagi PNS, yang sehari-harinya bekerja mengabdikan diri di instansi pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Persoalan mutasi kerap menjadi momok bagi mereka yang telah nyaman bekerja di tempat tugasnya masing-masing, sudah sesuai dengan kompetensi, tempat tugas dekat dengan kediaman, menduduki jabatan strategis, dan lain-lain.

Maka, jika ada isu mutasi yang akan dilakukan oleh pejabat yang berwenang, sudah pasti pihak-pihak tersebut berusaha sedemikian rupa agar tidak termasuk dalam pegawai yang akan dimutasi, minimal dengan berdoa agar ia tetap berada pada posisinya semula. Kecuali bagi PNS yang mutasi akibat menduduki jabatan yang lebih tinggi, tentu lain masalah.

Terkait dengan mutasi, beberapa waktu lalu yang masih hangat adalah berita mutasi yang dilakukan oleh Bupati Alor Propinsi NTT pada awal tahun 2019. Dikutip dari laman jpnn.com, selama enam bulan sebelum digelar Pilkada serentak pada 27 Juni 2018, Bupati Alor, Amon Djobo sebagai calon petahana telah melakukan mutasi, men-nonjob dan memberhentikan 1.381 Aparatur Sipil Negara (ASN) di daerahnya. Sebuah angka yang fantastis.

Atas hal itulah, Bupati yang telah ditetapkan sebagai bupati terpilih masa bakti 2018-2023 itu dilaporkan oleh sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kabupaten Alor ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Bawaslu RI. Mutasi tersebut dinilai cacat hukum dan mendzalimi para ASN. Menurut kuasa hukumnya, mutasi yang dilakukan oleh Bupati Alor diindikasikan mengandung unsur perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan dalam hal pemberian sanksi.

Saat ini, KASN telah mengeluarkan rekomendasi atas masalah tersebut dengan mengirimkan surat kepada Bupati Alor Amon Djobo tertanggal 27 Februari 2019 yang ditandatangani Ketua KASN Sofian Effendi. Berdasarkan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menilai, keputusan Bupati Alor terkait mutasi, pemberhentian, dan pemecatan terhadap 1.381 aparatur sipil negara (ASN) di daerahnya harus dibatalkan.

Begitulah, soal mutasi memang bikin ketar-ketir. Apalagi sejak otonomi daerah, kepala daerah memiliki kewenangan melakukan mutasi bagi pegawai yang ada di daerahnya. PNS kadang menjadi korban kepentingan akibat hal tersebut, terutama ketika musim pilkada sedang berlangsung.

Persoalan mutasi tersebut menjadi berbeda jika PNS mengajukan mutasi atas permintaan sendiri disebabkan suatu hal, misalkan tempat tinggal yang relatif jauh dari tempatnya bertugas, ingin merasakan suasana dan tempat bekerja yang baru, karena pindah tempat atau domisili, dan lain sebagainya. Mutasi tak lagi menjadi momok, tapi bahkan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan.

Bagaimanakah sebenarnya tata cara mutasi bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di instansi pemerintah, baik sebagai pejabat struktural maupun fungsional? Silahkan baca pada ulasan berikut ini.

Peraturan BKN RI Nomor 5 Tahun 2019 

Beberapa waktu lalu, Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan BKN RI Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi. Peraturan yang ditetapkan tanggal 5 April 2019 di Jakarta oleh Kepala BKN, Bima Haria Wibisana itu mengatur tata cara pelaksanaan mutasi bagi PNS yang ingin pindah tugas.

Mutasi yang dimaksud adalah perpindahan tugas lokasi baik dalam satu Instansi Pusat, antar Instansi Pusat, satu Instansi Daerah, antar Instansi Daerah, antar Instansi Pusat dan Instansi Daerah, dan ke perwakilan Negara Indonesia di luar negeri, serta atas permintaan sendiri.

Dalam peraturan tersebut, instansi pemerintah tidak bisa serta merta melakukan mutasi bagi pegawai di tempatnya. Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelumnya, diantaranya adalah menyusun perencanaan mutasi PNS di lingkungannya dengan memperhatikan aspek kompetensi, pola karier, pemetaan pegawai, kelompok rencana suksesi (talent poot), perpindahan dan pengembangan karier, penilaian prestasi kerja/kinerja dan perilaku kerja, kebutuhan organisasi, dan sifat pekerjaan teknis atau kebijakan tergantung pada klasifikasi jabatan.

Disamping itu, mutasi juga harus mempertimbangkan waktu, sebab mutasi bisa dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun. Mutasi juga tidak boleh sembarangan, harus dilakukan atas dasar kesesuaian antara kompetensi PNS dengan persyaratan jabatan, klasifikasi
jabatan dan pola karier, dengan memperhatikan kebutuhan organisasi.

Memang, jual beli jabatan tampaknya bukan lagi sebuah rahasia. PNS yang dimutasi sebab menduduki jabatan baru sering terjadi. Sayangnya, prosedur pelaksanaannya kadang mengabaikan kesesuaian kompetensi dengan persyaratan jabatan, lebih mengedepankan kedekatan emosional dan persyaratan tak tertulis berupa kemampuan finansial.

Kita tentu belum lupa dengan peristiwa tragis beberapa waktu, bagaimana seorang pejabat di salah satu kementrian terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK akibat diduga terlibat melakukan jual beli jabatan pada instansi yang baru saja dipimpinnya. Ironis bukan?

Terkait dengan isu politik yang telah menjadi rahasia umum, bahwa PNS kerap menjadi korban kepentingan akibat pilkada, maka mutasi PNS boleh dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip larangan konflik kepentingan. Jika dilakukan atas dasar like and dislike akibat pilkada, dan bukan pelanggaran disiplin pegawai, tentu akan bermasalah di kemudian hari.

Selain hal tersebut di atas, PNS juga dapat mengajukan mutasi tugas dan/atau lokasi atas permintaan sendiri. Lantas, apa saja syarat-syaratnya jika ingin melakukan mutasi? Baca selengkapnya di Peraturan BKN Nomor 5 Tahun 2019 melalui tautan berikut:
Peraturan BKN RI Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi

Post a Comment

Previous Post Next Post