Cerpen Idul Fitri
Ilustrasi : Matahari Terbenam Menjelang Idul Fitri
“KETIKA Ramadan akan segera berakhir, alam semesta mencucurkan air mata. Langit dengan cakrawalanya tak terbatas tak kuasa membendung air mata. Sementara bumi yang menopang kehidupan umat manusia menangis meraung-raung seperti anak kecil yang ditinggal pergi kedua orang tuanya.”

Kalimat itu meluncur dari mulut Kiai Saleh, saya dengarkan dua puluh dua tahun silam, saat bersama kakek mengikuti pengajian selepas tarawih yang dilaksanakan di masjid. Kalimat-kalimat itu terngiang-ngiang di kepala saya hingga kini, bahkan ketika telah berkeluarga dan memiliki dua orang anak.

“Kepergian Ramadan adalah musibah,” kalimat Kiai Saleh terngiang lagi,”Dinamakan musibah, karena ia bulan penuh cahaya yang segala keistimewaan dihamparkan. Doa-doa yang dipanjatkan meluncur menembus langit. Tak ada satupun rintangan yang menyebabkan doa itu tak dikabulkan oleh Tuhan. Sementara kebaikan menjelma bebutiran pahala tikel matikel. Segala siksa dan derita menjadi tertahan dan tertangguhkan.”

Suara-suara Kiai Saleh terus terngiang berloncatan memenuhi ruangan masjid yang tidak seberapa luas. Sebagai anak kecil, saya belum bisa mencernanya ketika itu. Saya hanya duduk disamping kakek sembari mempermainkan tasbih yang biasa dipergunakan untuk wirid. Ketika kalimat-kalimat itu masuk ke telinga saya, sederet tanya justru berkeliweran memenuhi ruang kepala. Mengapa kepergian Ramadan adalah musibah? Bukankah Ramadan tak berbeda dengan bulan-bulan lain yang memiliki keniscayaan bergulir mengikuti irama waktu? Bukankah ketika Ramadan pergi, justru hal itu merupakan pertanda datangnya hari raya. Bukankah hari raya adalah hari kemenangan yang ditunggu-tunggu setelah sebulan penuh mengekang nafsu, berpuasa berjuang mengalahkan rasa lapar dan dahaga?

***

Bagi bocah seperti saya, kehadiran Ramadan memang menyulutkan kegembiraan teramat sangat. Namun kegembiraan itu sama sekali tak ada hubungannya dengan ibadah. Saya ingat, kebiasaan yang membuat saya bersuka cita ketika Ramadan tiba adalah menjadikan masjid sebagai rumah kedua bagi saya dan teman-teman. Selepas sekolah, kami biasanya langsung menuju masjid melaksanakan shalat dluhur berjamaah, tak kalah dengan bapak-bapak kami yang begitu antusias menyambut Ramadan hingga membentuk shafberderet-deret. Usai berjamaah, kami tiduran di serambi sembari berceloteh hal bermacam-macam laiknya anak kecil. Sebagian teman ada yang bermain skak atau macan-macanan. Ketika matahari terbenam, kami lantas pulang ke rumah masing-masing menunggu azan maghrib untuk menyantap menu berbuka yang telah disediakan oleh orang tua kami di rumah.

Hal paling mengesankan yang terbawa bahkan ketika kami dewasa adalah masa-masa selepas shalat tarawih. Kami tadarus barang sepuluh atau lima belas menit sebelum digantikan para pemuda desa atau bapak-bapak. Selama tadarus itulah, berbagai makanan kecil bisa kami dapatkan. Ada kolak kacang ijo, rondo royal, ote-ote, tahu berontak, getuk lindri, sawut singkong, serta jajanan tradisional lainnya. Makanan itu sengaja dikirimkan oleh penduduk kampung secara bergantian untuk mereka yang bertadarus. Setelah puas menyantap jajanan itu, kami lantas bermain jumpritan dan gobak sodor. Beberapa teman bermain sepak bola di lapangan, mencari jangkrik di sawah-sawah milik penduduk. Ketika dini hari menjelang, kami kembali berkumpul di masjid mempersiapkan alat-alat kotekan. Kami kemudian berkeliling kampung membangunkan ibu-ibu agar mempersiapkan makan sahur untuk keluarganya.

Begitulah, Ramadan akhirnya menjadi bulan yang begitu mengasyikkan. Apalagi saat-saat terakhir menjelang hari raya. Kegembiraan kami sebagai anak kecil semakin bertambah-tambah. Tradisi weweh membuat isi kantong kami akan segera penuh. Kami juga akan mendapatkan baju baru dari orang tua masing-masing sebagai hadiah karena telah mampu berpuasa. Bermacam-macam makanan dan minuman yang jarang ditemui di bulan-bulan lain, akan segera kami rasakan ketika hari raya tiba.

Maka, ketika Kiai Saleh mengatakan bahwa kepergian Ramadan adalah musibah, saya hanya mengernyitkan kening. Saya sama sekali tak mengerti dengan yang dituturkannya itu.

***

Baru ketika usia saya mulai beranjak dewasa, saya lantas mengetahui bahwa yang disampaikan Kiai Saleh itu dilhami ucapan Kanjeng Nabi Muhammad, bahwa Ramadan adalah bulan yang menawarkan berjuta kemuliaan. Sehingga wajar, jika Ramadan meninggalkan kehidupan umat manusia adalah musibah paling besar. Sebab, tak ada jaminan jika manusia dapat kembali menemui Ramadan di tahun-tahun berikutnya.

Namun yang membuat saya sedikit agak tertegun adalah pertanyaan yang tiba-tiba saja dilontarkan oleh anak saya yang masih berumur delapan tahun. Saat saya ceritakan ucapan Kanjeng Nabi itu padanya (tentu saja dengan pemahaman seorang anak kecil), dengan begitu saja ia mempertanyakan hal yang sama, sebagaimana yang pernah membuat saya musykil semasa kecil dulu.

“Mengapa ketika Ramadan akan segera berakhir, langit dan bumi menangis, Ayah?”

“Karena Ramadan adalah bulan penuh cahaya, anakku. Di bulan ini, segala jenis doa dikabulkan, setiap kebaikan dilipatgandakan, setan-setan dibelenggu, dan manusia memperoleh kemungkinan lahir kembali menjadi manusia yang suci dan bersih dari dosa-dosa, karena dosa dan kesalahannya telah diampuni oleh Tuhan semesta alam.” jawaban yang sama saya berikan, meskipun saya bumbui dengan sejengkal pengetahuan baru seiring dengan pertambahan usia.

“Untuk apa manusia harus berpuasa? Bukankah makan dan minum adalah pekerjaan mengasyikkan bagi seorang manusia?" pertanyaan anak saya sekali lagi. Kali ini saya terdiam, sebelum kemudian berusaha mencari kalimat yang tepat untuk menjawabnya.

Entahlah, anak saya ini memang berbeda.Sejak kecil, ia sering kali mempertanyakan hal-hal yang mengusik pikirannya. Memang sedari kecil, sering saya ajak ia berjalan-jalan menziarahi setiap tempat yang menawarkan cakrawala baru bagi perkembangan akal dan pikirannya. Terkadang saya bawa dia ke pantai. Saya ajak dia bercengkrama dengan luasnya laut, dengan ombak berdebur yang saling berkejaran, dengan angin laut yang berhembus kencang menerbangkan bebutiran pasir yang menghampar, dengan matahari yang hampir tenggelam di kaki langit, dengan kelepak sayap camar yang menembus angkasa.

Suatu waktu, saya dedahkan padanya keindahan purnama dengan mencengkramai langit yang dipenuhi gugusan bintang gemintang. Saya perkenalkan padanya hijaunya daun yang menampung tetes-tetes embun yang mengantarkannya menemui cahaya, pada burung-burung berkicau yang menasbihkan simponi pada semesta waktu yang kian bergulir, pada air terjun yang turun dari atas bukit menciptakan suara gemuruh, serta pada keindahan alam yang demikian eloknya.

Terhadap semua itu, tujuan saya hanya satu, ingin mengenalkannya pada asal-usul hidupnya. Bahwa kemegahan alam semesta ini tak mungkin ada dengan sendirinya tanpa adanya zat yang menciptakan. Maka perjalanan itulah yang saya gunakan untuk mengenalkan dia pada Tuhan semesta alam. Saya berharap, ketika sejak dini saya perkenalkan ia pada alam semesta dengan hamparan keindahannya yang niscaya, ia akan memperoleh kesadaran ketuhanan yang berujung pada kekagumannya pada Tuhan. Menurut saya, itulah modal awal yang amat berharga baginya ketika ingin menempuh jalan ketuhanan pada kehidupannya kelak ketika dia telah dewasa.

Maka ketika ia bertanya tentang seluk beluk puasa, saya berusaha mengantarkannya pada situasi terdalam dari hakekat puasa. Saya tak ingin jika anak saya kelak memahami puasa sebagai kegiatan yang hanya menahan lapar dan minum semata. Saya harus menunjukkan, bahwa puasa juga memiliki fungsi sosial yang jelas dalam kehidupan.

“Makan dan minum memang pekerjaan manusia, anakku. Agar ia tetap hidup dan dapat melakukan aktifitas kehidupan sebagaimana mestinya,” jawab saya hati-hati,”Namun suatu saat, manusia juga butuh puasa, agar ia bisa menjadi manusia yang menyenangkan.” .

“Maksud ayah?”

“Kamu tahu kupu-kupu?” anak saya mengangguk.“Kupu-kupu bisa menjadi kupu-kupu yang indah karena bersedia melakukan puasa. Kamu pasti sudah diajari gurumu. Sebelum kupu-kupu berbentuk kupu-kupu, ia masihlah berwujud seekor ulat. Betul bukan?” kembali anak saya mengangguk.

“Kamu tahu anakku, pekerjaan utama ulat adalah makan. Ia makan apa saja yang dihinggapinya. Tak perduli apakah itu dedaunan liar yang tumbuh dari pohon-pohon, ataukah dari tanaman petani yang telah diusahakan sedemikian rupa pertumbuhannya. Ulat tak pernah berpikir apa-apa selain makan. Ketika pekerjaan utama seekor ulat hanyalah makan, keberadaannya begitu dibenci oleh banyak orang. Ulat sangat ditakuti oleh anak kecil sepertimu. Oleh petani, ulat menjadi musuh yang harus dimusnahkan karena mengganggu tanamannya. Itulah sebabnya kenapa ulat menjadi hewan yang harus dibasmi keberadaannya.”

Saya mengambil nafas sebelum kemudian melanjutkan, “Tapi perhatikan ketika ulat bersedia berpuasa beberapa waktu dengan menjadi kepompong, ia akan berubah wujud menjadi kupu-kupu yang sedap dipandang mata. Tak hanya manusia yang begitu suka dengan keindahan warnanya, namun kuncup-kuncup bunga selalu menantikan kehadiran kupu-kupu demi supaya bisa mempersembahkan bebuah dalam kehidupan manusia.”

“Jadi puasa berfungsi merubah manusia menjadi kupu-kupu?” dengan lugunya anak saya bertanya.

Saya tersenyum,“Betul, anakku. Puasa memang merubah manusia menjadi kupu-kupu, namun dalam sifatnya. Maka kelak ketika engkau dewasa, engkau harus mampu puasa dalam segala bentuknya, agar engkau bisa menjadi kupu-kupu dan lulus menjadi manusia.”

***

Beberapa waktu kemudian, selepas berbincang-bincang dengan anak saya itu, denyar kerinduan tiba-tiba saja begitu menyengat jiwa saya pada Ramadan kali ini. Entahlah, harum tanah pedesaan, bau apek tikar masjid, gema teriakan anak-anak kecil ketika bermain petak umpet menyeruak begitu saja ke permukaan tanpa bisa dihalang-halangi, membuat kenangan puluhan tahun silam itu mencuat kembali ketika perjalanan waktu mengantarkan kehidupan saya seperti sekarang ini. Tiba-tiba saja saya ingin segera pulang ke kampung halaman. Maka tak seperti biasanya, kurang satu minggu sebelum lebaran, sengaja saya niatkan mudik lebih awal. Disamping agar bisa leluasa bersilaturrahmi dengan sanak famili, yang terpenting sesungguhnya saya ingin merasakan kembali kenangan masa lalu itu.

Namun apa lacur, baru sehari merasakan udara di kampung, saya hanya mampu memungut perih. Alih-alih bisa merasakan kenangan masa kecil, justru kegetiran demikian pahit yang saya rasakan. Seiring dengan perjalanan waktu, semuanya telah berubah. Masjid yang dulu bangunan kuno tempat saya berdiam diri selama Ramadan bersama teman-teman, kini berdiri megah dengan arsitektur tak kalah dengan masjid yang ada di kota. Suasana masjid lengang ketika siang hari. Tak ada lagi celotehan riang bocah-bocah kecil bermain skak atau macan-macanan.

Ketika malam menjelang, hanya ada bapak-bapak renta yang melaksanakan tadarus dengan suara terbata-bata. Kata Kang Wagiman ketika saya berbincang dengannya selepas taraweh, saat ini para pemuda enggan berlama-lama tinggal di kampung ketika mereka beranjak remaja, mereka lebih tergiur mengais rezeki pada gemerlapnya kota dan baru pulang kampung ketika lebaran akan tiba. Kian malam, masjid kian sepi. Tak ada lagi anak-anak kecil berkumpul dan kotekan menjelang sahur. Anak-anak sekarang lebih suka berdiam diri di rumah sembari bermain game atau menikmati acara-acara televisi.

Dan malam ini, rasa perih itu kian menikam. Ketika sedang bertadarus, seorang tetangga mengabarkan bahwa baru saja terjadi peristiwa menggemparkan di desa sebelah. Seorang anak yang masih SMP tega menusuk bapaknya dengan pisau dapur. Si anak minta sepeda motor. Bukannya si Bapak tak mau membelikan, tapi bagi seorang buruh tani, terlalu sulit baginya memenuhi keinginan anaknya itu.

Si anak tak mau tahu, ia kemudian marah-marah. Tanpa pikir panjang, ia ambil pisau dan menikamkan begitu saja ke dada bapaknya hingga berdarah-darah. Si anak marah, karena motor itu rencananya akan digunakan membonceng pacarnya untuk melihat pertunjukan orkes dangdut di alun-alun kota, sehari setelah lebaran di rayakan.(*)

Lamongan, Ramadan 1430-1431 H


Cerpen: Em. Syuhada'

Post a Comment

Previous Post Next Post