Buku Jejak Keteladanan Kiai Arief Hasan Beratkulon
KH. Arief Hasan, Pendiri Pondok Pesantren Roudlotun Nasyiin Beratkulon Kemlagi Mojokerto
Nama Kiai Arief Hasan memang belum begitu akrab di telinga masyarakat. Akan tetapi bagi masyarakat Mojokerto dan sekitarnya, nama Kiai Arief Hasan sudah tak asing. Beliau adalah santri KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng pada tahun 1930-an. Walau tak begitu lama nyantri di Tebu Ireng, namun Kiai Arief Hasan berhasil mendirikan Pondok Pesantren Roudlotun Nasyi’in Beratkulon Kemlagi Mojokerto yang terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun.

Sejak wafat tanggal 31 Oktober 1988, kepengasuhan pesantren diamanatkan kepada putranya, yaitu Kiai Arifin dan Gus Irfan. Kiai Arifin dipercaya mengembangkan pendidikan di pondok pesantren dengan tradisi kitab kuningnya. Sedangkan lembaga pendidikan formal diserahkan sepenuhnya pada Gus Irfan, yang merupakan adik Kiai Arif. Meski dalam pandangan mata kebanyakan orang telah wafat, namun sejatinya Kiai Arief hanya istirahat. Ruhnya telah menjelma kekuatan moral-spiritual yang dahsyat. Apalagi, menurut penglihatan mata batin beberapa kiai sepuh, Kiai Arief selalu terlihat mengawal Kiai Arifin.

Seturut pengakuan keluarga, kerabat, dan sejumlah santri generasi awal, Kiai Arief telah mewariskan keteladanan moral yang layak ditapaktilasi. Ini sekaligus menjadi petanda bahwa Kiai Arief merupakan sosok panutan yang begitu akrab dan benar-benar dekat di hati mereka. Keteladanan moral yang diwariskan Kiai Arief tetap abadi, terpatri di hati kemudian dijadikan cermin pantulan dalam setiap derap langkah meniti kehidupan.

***
Kiai Arief dikenang masyarakat sebagai seorang figur kiai kharismatik yang gemar bersilaturrahmi. Meski para tamu datang silih berganti ke rumahnya, namun Kiai Arief tak segan bertandang ke rumah masyarakat sekitar pondok pesantren. Bisa jadi, konsistensi silaturrahmi ini didorong oleh seruan moral hadis Nabi, bahwa barangsiapa yang menghendaki agar dilapangkan rezeki dan dilimpahi umur yang berkah, hendaklah rajin menyambung silaturrahmi.

Terkadang silaturrahmi dilakukan Kiai Arief setelah memimpin salat berjamaah bersama para santri di pondok pesantren, tapi tak jarang pula memang disengaja meluangkan waktu untuk silaturrahmi. Tanpa ada maksud tertentu, kecuali silaturrahmi itu sendiri. Karena faktor inilah, Kiai Arief lantas dikenal sebagai seorang kiai yang populis, kiai yang merakyat, dan sangat dekat di hati masyarakat.

Dengan silaturrahmi, tampak jelas bahwa Kiai Arief ingin menghilangkan sekat-sekat kultural antara dirinya dengan masyarakat. Ia hendak meneguhkan bahwa sebagai seorang kiai yang telaten melayani masyarakat, ia tidak lagi menjadi “milik” keluarga semata, tetapi menjadi bagian dari seluruh masyarakat. Sehingga ketika sekat-sekat kultural antara dirinya dengan masyarakat telah tak berjarak, maka masyarakat takkan merasa canggung untuk menumpahkan keluh kesah dan beban dari segudang persoalan hidup yang terus menghimpit. Dalam posisi inilah Kiai Arief mampu mengayomi masyarakat sepenuh hati setakaran nurani.

Lebih dari sekadar itu, Kiai Arief juga amat mencintai dan menyayangi anak-anak yatim. Ia sadar bahwa anak-anak yatim adalah adalah sebuah generasi yang tak genap mendekap kasih sayang keluarga. Dalam usia yang masih amat belia, mereka, anak-anak yatim, telah ditinggal pergi, entah ayah atau ibunya, menuju ke alam baka.

Kecintaan Kiai Arief terhadap anak-anak yatim diwujudkan dengan memberi, bisa berupa barang atau uang. Meski sepintas bisa jadi nilai nominalnya tak seberapa, namun dengan pemberian itu anak- anak yatim merasakan curahan kasih sayang yang selama ini kerap terabaikan. Maka, tepatlah bila dalam sebuah hadis Nabi dinyatakan, bahwa orang yang gemar menyantuni anak-anak yatim, kelak di Hari Kebangkitan akan bersanding dengan Nabi sebagaimana kedekatan jari telunjuk dan jari tengah.

***
Warisan keteladan Kiai Arief yang lain adalah sikap amanah atau menjaga kepercayaan. Memang, menjadi orang yang dipercaya bukanlah hal yang mudah, akan tetapi menjaga kepercayaan yang telah diamanatkan sudah pasti jauh lebih susah. Sikap amanah inilah yang menjadi salah satu ciri khas posisi manusia selaku wakil Tuhan di muka bumi (baca: khalîfatullâh fî al-ardl).

Bahkan, ketika semula amanah Tuhan dalam pengertian mengemban misi-misi keagamaan ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung, mereka semua menolak sebab takut takkan sanggup menjaganya, khawatir mengkhianatinya. Namun, saat ditawarkan kepada manusia, ia mau menerima (lihat, QS. al-Ahzab [33]: 72). Padahal, menjaga amanah itu amat berat. Maka, tak heran jika Nabi Muhammad menegaskan betapa orang yang tidak mampu menjaga amanah termasuk dalam kategori kaum munafik, kaum hipokrit yang bermuka ganda.

Inilah pijakan doktrinal kenapa Kiai Arief berusaha sekuat tenaga untuk menjaga sikap amanah. Pernah, Bahri, santri asal Bangperut, diminta Kiai Arief untuk membersihkan ruang tengah, termasuk deretan kitab- kitab Kiai Arief di lemari. Dengan telaten Bahri menyingkirkan debu yang menempel pada deretan kitab. Satu per satu kitab-kitab itu dibuka. Hingga, ia terkejut tak alang kepalang sewaktu membuka salah satu kitab, secarik kertas dan berlembar-lembar uang ribuan jatuh berserakan.

Anehnya, berlembar-lembar uang ribuan itu sudah lingsut dan berjamur (Jawa: bekuturen). Ini menjadi pertanda bahwa berlembar- lembar uang ribuan itu jarang disentuh, apalagi dipergunakan. Ketika ditanyakan ihwal berlembar-lembar uang ribuan itu, Kiai Arief menjawab bahwa uang itu adalah uang kas, bukan uang miliknya sendiri. Karena itu, uang kas tersebut dijaga dengan rapi dan pantang digunakan untuk kepentingan pribadi. Inilah bukti betapa amanahnya Kiai Arief.

Peristiwa yang cukup memiriskan hati juga terjadi ihwal amanah ini. Suatu hari, Kiai Arief memanggil seorang santri. Bukan karena ia nakal, bukan pula untuk dites pengetahuan keagamaannya. Akan tetapi, untuk kepentingan yang tampaknya sangat sepele. Kiai Arief ingin berbagi rezeki dengan para santri. Ia menyuruh santri tersebut untuk membawa makanan agar dimakan bersama dengan para santri lain di pondok pesantren.

Beberapa saat setelah santri itu beranjak pamit dari hadapannya, Kiai Arief ingin menyusul ke pondok pesantren. Agaknya ia ingin melihat betapa guyubnya para santri ketika makan bersama. Tapi, tak dinyana, Kiai Arief melihat santri yang disuruhnya tadi tengah khusyuk makan sendiri di bawah beduk di serambi mushola. Entah kenapa, makanan itu dihabiskan, dan dengan serta merta mengabaikan perintah Kiai Arief untuk berbagi bersama teman.

Fenomena itu membersitkan simpul bahwa santri tersebut tak bisa menjaga amanah. Kiai Arief mendatanginya, menegur seraya berujar bahwa jika ia tidak bisa mengubah perilaku tersebut dan seterusnya mengabaikan pentingnya menjaga amanat, kelak ia akan tersisih dari pergaulan sosial dan terhempas dari siklus harmoni kehidupan bermasyarakat. Ternyata, menurut beberapa saksi sumber, teguran Kiai Arief menuai kenyataan. Santri tersebut benar-benar tersisih dan terhempas dari dinamika kehidupan sosial. Na’ûdzu billâhi min dzâlik!

***
Begitulah, Kiai Arief telah mewariskan teladan kebaikan (uswah hasanah) yang sangat berharga. Andai diibaratkan, sosok Kiai Arief serupa intan permata di mana setiap sudutnya memantulkan kilau-kilau cahaya yang berpendaran. Setiap orang yang sempat berguru kepadanya, mengenal karakter kepribadiannya, dan pernah bersinggungan langsung dengan kehidupannya, sudah tentu bisa menangkap denyar-denyar cahaya kebajikan yang menguar pelan namun penuh kepastian. Kinilah saatnya kita meneruskan perjuangan Kiai Arief, sekaligus bermakmum di belakangnya seraya menyusuri jejak-jejak keteladanan yang telah ditinggalkan.(*)

*)tulisan ini digunting dari Buku Jejak Keteladanan KH. Arief Hasan, yang ditulis oleh alm. Saiful Amin Ghofur.

Post a Comment

Previous Post Next Post