Zaman dahulu kala, ketika teknologi informasi belum semoncer sekarang, menjalani kehidupan di desa (apalagi desa terpencil yang jauh dari pusat ibu kota) ternyata gampang-gampang susah. Di satu sisi, hidup di desa memang nyaman jika dibandingkan dengan hidup di kota yang kebak polusi. Namun di sisi lain, akses untuk menyerap informasi ternyata tidak segampang sebagaimana di kota.

Kasus yang kerap menghampiri waktu itu, ketika menginginkan sebuah buku, atau yang paling ringan adalah selembar koran (terutama koran minggu khusus untuk mengontrol tulisan), secercah resah acap kali terasa. Bagaimana tidak? Saya harus menempuh jarak sekian kilometer, itupun yang bisa diperoleh hanyalah koran nasional semacam Jawa Pos atau Kompas. Sementara untuk Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, serta beberapa koran nasional yang lain sukarnya bukan main. ”Harus langganan dulu, Bung. Soalnya kalau dijual umum, koran-koran itu hampir tidak laku.” itu jawaban yang kerap saya peroleh dari masing-masing agen. Jawabannya nyaris sama. Sungguh mengenaskan. 

Memang, menemukan agen yang khusus menjual bahan bacaan di desa bukanlah perkara mudah. Hampir jarang ditemui ada agency yang menjual buku, koran atau majalah. Bahkan dalam satu kecamatan pun, para penjual koran bisa dihitung dengan jari. Pedagang tetaplah manusia yang selalu mengedepankan untung rugi. Mereka cenderung memilih menjual barang yang laris manis semacam vcd lagu dangdut koplo atau goyang ngebornya artis-artis hot, ketimbang menjual koran yang belum tentu laku. Apalagi buku yang setahun berlalu belum tentu disentuh.

Ini barangkali hanyalah akibat dari problem klasik yang kerap melanda penduduk negeri ini: apalagi kalau bukan rendahnya minat baca masyarakat.

****

Tapi memang begitulah hidup di desa. Mungkin bagi sebagian orang, hidup di desa itu susah, terutama bagi mereka yang tak pernah bersentuhan dengan udara desa sepanjang hidupnya, dan lebih menikmati gemerlapnya kehidupan kota. Tapi saya pribadi lebih memilih hidup di desa daripada di kota. Meski untuk mendapatkan selembar koran saya harus ‘berjuang’ keras mendapatkannya, itu adalah irama keasyikan tersendiri bagi saya.

Saya teringat sepucuk surat yang pernah ditulis oleh seorang kawan,” Bung, meski sampean di desa, jangan pernah berhenti bercengkrama dengan kata-kata. Teruslah menulis. Kau tahu Zawawi Imron, bukan? Kenapa di depan namanya terpampang huruf D. Itu lantaran sedemikian dahsyatnya ia dalam berkarya. Kau tahu, Kawan. Ia bahkan rela berjalan kaki puluhan kilometer dari desanya di Guluk-guluk Sumenep hanya untuk membeli sebuah koran untuk mengecek tulisan-tulisannya. Dan ketika si Celurit Emas itu namanya telah berkibar ke seantero negeri, ia tak hendak hijrah dari tempat tinggalnya. Ia tetap memilih tinggal di desanya dengan intensitas budayanya.

Dan kau pasti kenal dengan almarhum Hardjono WS. Lelaki kelahiran bondowoso itu, yang naskah teaternya pernah terpilih oleh UNESCO mewakili naskah teater anak Indonesia di terbitkan dalam kumpulan “TOGETHER IN DRAMLAND” bersama 14 penyair Asia Pasifik, yang beberapa kali menjadi penyair favorit Surabaya dan pernah mendapatkan award of teater dari LIA (Lembaga Indonesia Amerika) lewat Dewan Kesenian Jakarta tahun 1978. Bukankah ia tetap istiqamah untuk tetap tinggal di desa?

Bagi Hardjono, semilir angin di desa, gemericik air yang mengalir dari pegunungan, udara yang sejuk dan bersahabat, itu semua adalah sumber inspirasi yang mengilhami puisi-puisinya.”

Begitu juga dengan Herry Lamongan, begawan puisi yang kesetiaannya berpuisi tak diragukan, yang kebersahajaan puisinya kerap lahir dari secangkir kopi. Namanya sekarang populer di kalangan sastrawan akibat karya-karyanya yang berserakan dimana-mana. Bukankah ia tak hendak hengkang dari tanah kelahirannya, kampung lamongan yang dulu kerap dihina-hina. Bukankah ia justru mencantumkan Lamongan itu bersanding dengan namanya?

***

Dan sampai hari ini, ketika waktu masih memperkenankan saya mengikuti perputaran bulan dan matahari. Ketika takdir menyeret saya pada ketentuan hidup yang tak mungkin ditawar-tawar, saya tetap masih hidup di desa, bahkan sehari-harinya harus menyusuri sebuah desa sangat terpencil yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata demi menjalankan tugas. 

Desa masihlah energi yang selalu mengiramai denyut jantung. Tapi entahlah, beberapa waktu terakhir, saya merasakan udara desa tidak senyaman dulu. Ada sesuatu yang hilang dari kehidupan desa sebagaimana yang pernah saya rasakan sebelumnya. Apalagi modernisasi dengan segala bala tentaranya telah merenggut nafas anggun desa, hingga yang tersisa hanyalah kenangan demi kenangan.

Apalagi ketika wajah-wajah di baliho itu semakin lama semakin bertebaran.....***

Post a Comment

Previous Post Next Post