Cerpen Aku Pingsan disambar Geledek
Sebagaimana manusia yang lain, engkaupun seorang manusia, yang tidak hanya tersusun dari badan kasar. Engkau punya hati, punya jiwa. Jasad hanyalah bungkus lahir yang kadang menipu. Raga adalah seonggok tulang terbungkus daging yang suatu saat pasti musnah tertelan waktu. Sementara yang sejati hanyalah jiwa, hanyalah ruh. Untuk apa bersusah payah memburu dunia hanya jika supaya terbebas dari lapar. Untuk apa bekerja mati-matian hanya supaya kebutuhan fisikmu terpenuhi dan tidak kalah dengan tetangga kiri kananmu. Sementara kebutuhan rokhanimu kau biarkan terlantar. Esensi jiwamu ternyata kau biarkan terdampar di sudut ruangan nun jauh disana...
Terngiang-ngiang suara itu memenuhi gendang telingaku, menggema menggelayuti alam batinku. Apa yang dituturkan Pak Wongso beberapa waktu yang lalu itu seolah-olah tidak lagi memberikan ruang bagiku untuk berkutik. Keleluasaanku sirna, kebebasanku musnah. Serentetan kalimat itu bagai raksasa berkekuatan luar biasa yang mampu mengekang setiap sekat kebebasan yang pernah aku miliki, mencengkram eksistensiku, menguasai sepetak ruangan yang sekian lama terabaikan begitu saja dalam batinku, sebuah ruangan yang terbiarkan kumuh oleh seliweran sawang-sawang. Dan mau tidak mau, aku pun hanya mampu bersimpuh, luruh dalam eksistensi yang kian rapuh.

“Apa sih yang sebenarnya yang dicari manusia?” Suara Pak Wongso terdengar lagi,” Dia ada kan, sekedar diadakan, kemudian menjadi hidup, besar, kawin, beranak pinak, lantas mati. Apakah hanya sekedar itu manusia ada. Apakah tidak ada kemungkinan lain bagi manusia untuk mencapai tingkat teratas bagi harkat kemanusiaannya?"

Suara itu terus menggema. Ibarat aliran air yang membasahi tiap petak kekeringan, ia terus mengalir, berkelok-kelok, menganak sungai. Ketika aliran itu melewati tanah jiwaku yang kering kerontang, aku pun tergeragap. Sebuah kesadaran akhirnya mengendap ke permukaan, betulkah diriku selama ini adalah manusia? Pantaskah aku disebut sebagai sesosok makhluk Tuhan yang dilengkapi dengan akal dan pikiran? Ketika yang terangkum dalam setiap langkah kehidupanku adalah kemegahan mengumbar nafsu, keberdayaan meletakkan diri hidup tanpa kendali, selalu menerjang batas dan kewajiban.

Pantaskah jika kemudian aku disebut sebagai seorang manusia?

***

Pesawat telepon yang besebelahan dengan komputer yang tengah aku hadapi mendadak berdering. Aku sedikit tersentak. Gema suara Pak Wongso yang berseliweran itu berlalu dan buyar seketika. Dengan gerakan sedikit agak malas, kuraih gagang, dan...............

“Hallo?”

Hening. Tak ada suara. Hanya suara gemerisik yang aku temui.

“Hallo?” Suaraku sekali lagi. Kali ini sedikit agak kutekankan. Aku agak jengkel.

“Brengsek!” Kata umpatan akhirnya meluncur dari bibirku secara tak sadar. Gagang kembali kuletakkan di tempatnya semula.

Entahlah, akhir-akhir ini sering kutemui kejadian semacam itu. Telepon berdering, kungkat, ditutup. Hal itu tidak hanya berlangsung sekali dua kali. Bahkan berulang kali. Mungkinkah ada maksud-maksud tersembunyi dibalik telepon itu? Ataukah memang ada manusia jahil yang sengaja iseng menggodaku. Ataukah....

Tiba-tiba saja terbayang di memori kepalaku sesosok makhluk yang berada nun jauh disana, dalam cakrawala tak terbatas. Sesosok makhluk yang telah membawaku ke sebuah dunia baru yang tak jelas maknanya. Antara hitam dan putih, hijau dan biru, kuning dan kelabu. Tiba-tiba saja aku ingat, bahwa seringkali aku ingin menelponnya, sekedar mengajaknya berbicara, ingin mendengarkan syahdu suaranya, atau bahkan menikmati lemah lembut tutur katanya.

Tapi entahlah, ketika suara yang tengah aku rindukan itu menjelma mengiramai pendengaranku, yang kulakukan justru diam dan tak mampu berkata apa-apa. Entahlah, lidahku mendadak kelu, suaraku tercekat. Tak ada yang bisa kulakukan kemudian selain memaki diriku sendiri. Tiba-tiba saja aku berfikir, tidakkah perempuan itu juga mengalami kekesalan yang sama, sebagaimana yang kualami saat ini?

Mengingat itu semua, aku jadi tersenyum sendiri. Mengapa aku berubah menjadi makhluk tolol semacam itu. Apa salahnya kalau hanya sekedar berbicara. Toh berbicara adalah hal yang wajar dan lumrah bagi seorang manusia. Dan semuanya tahu, bahwa dalam sebuah negara yang meskipun didera kemelut kayak apapun, berbicara toh tidak pernah dilarang?

“Aku tidak munafiq, bahwa aku memang tertarik pada perempuan itu,” Gaung batinku menggema,”Aku tertarik bahkan jauh sebelum mengenalnya. Ketika kuketahui bahwa perempuan sepertinya, yang telah sekian puluh tahun menikmati anggur kota metropolitan yang memabukkan. Namun ia ternyata masih bersedia memasuki sebuah dunia yang menurut sebagian orang adalah dunia tradisional, dunia kaum sarungan yang kumuh. Sungguh, dengan tekad dan keinginan yang membara itu yang menyulut kekaguman luar biasa bagi diriku.”

“Ia itu sudah tunangan, Kang. Dengan seorang putra Kiai dari kota B. Mungkin ia berkemauan keras menuntut ilmu di pesantren lantaran akan menjadi keluarga seorang Kiai. Sementara pengetahuan agamanya masih sangat minim, bahkan mungkin nol sama sekali,” Tutur seorang teman yang kebetulan teman dekatnya.

Aku hanya tercenung. Mendadak Gema suara Pak Wongso kembali menyuara dalam benakkum, "Segala sesuatu tergantung niat. Kalau engkau melakukan sesuatu yang sifatnya dunia, namun niat yang terpasang di hatimu adalah akherat, maka engkau akan mendapatkan akherat, disamping dunia juga akan katut dengan sendirinya. Tapi meskipun engkau melakukan sesuatu yang sifatnya akherat, sedang niat yang terpasang hanya demi dunia, maka akherat hanya menjadi bayang-bayang yang tak pernah bisa engkau raih, sementara dunia juga tidak ada kepastian apakah bisa engkau raih atau tidak.”

“Kalau engkau mencari ilmu,” Suara Pak Wongso kemudian,” Tata niatmu sejak awal. Jangan engkau mencari ilmu hanya demi dapat memperoleh dunia, supaya memperoleh pangkat, jabatan, kekayaan, istri yang cantik, dan lain sebagainya. Semua itu akan sia-sia. Ilmu adalah cahaya Allah. Dan cahaya Allah tidak akan pernah diberikan kepada mereka yang mati hatinya, yang tidak peka perasaannya, yang hari-harinya selalu dikepung oleh perbuatan-perbuatan maksiat. Belajarlah prihatin selama di dunia. Rasul adalah manusia yang langsung dibimbing oleh Allah SWT. Dan engkau tahu kehidupan Rasul bukan? bahwa beliau adalah manusia yang tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.”

****

Pak Wongso adalah seorang Kiai yang gemar menulis puisi, memiliki pesantren khusus anak yatim yang segala kebutuhan santri sepenuhnya ia tanggung sendiri. Kehidupannya inklusif sebagaimana hakikat islam. Siang kadang ke sawah, bergulat dengan lumpur dan tanah, dan malam adalah saat-saat dimana harus rela menyerahkan waktu istirahatnya untuk menemui para tamu. Sebagian ada yang meminta wejangan batin, memintanya menjadi dukun, bahkan sebagian yang lain sering mengajak dialog kecil-kecilan sampai menjelang subuh. Sehingga otomatis, malam tidak lagi merupakan saat-saat istirahat bagi Pak Wongso.

“Bagi saya, tidur bukan merupakan pekerjaan budaya, melainkan alamiah. Sebagaimana makan adalah pekerjaan alam. Mengapa kita mesti membiarkan lidah mengumbar nafsu keinginannya hanya demi makanan beraneka ragam, padahal butuhnya perut sebagai penampung keinginan lidah hanya satu, bahwa ia minta diisi paling banter sepiring atau paling banyak tiga piring setiap hari."

“Mengapa sesekali tidak mencicipi makanan modern, Pak? Biar tidak ndeso dan ketinggalan zaman." Pertanyaaanku berkelakar.

Pak Wongso melemparkan senyum,” Masalahnya bukan itu. Kalau saya bersedia, bisa saja setiap hari saya menyantap makanan ala restoran-restoran super mahal. Tapi saya pikir, kenapa kita mesti dibikin bertele-tele mengurusi soal makanan. Makanan kan berbeda pada saat di lidah, waktu diperut, sama saja kan fungsinya? bahkan makanan yang macem-macem itulah pintu bagi manusia untuk bermesraan dengan penyakit. Islam kan jelas mengatakan, sumber penyakit adalah perut, dan menyedikitkan makan adalah obatnya.”

***

Ingatanku kembali melayang pada sosok perempuan itu. Ketika dalam waktu yang lama harus istirahat lantaran sebuah penyakit. Apa yang sedang ia lakukan disaat-saat seperti sekarang ini?

“Kamu harus sabar, ya?” Nasihatku suatu saat,“Tuhan itu maha kasih kepada hamba-hamba-Nya. Bukan berarti kalau engkau sakit, lantas Tuhan tidak lagi sayang kepadamu. Mungkin Tuhan sedang menguji sejauh mana kesungguhanmu setia kepada-Nya. Nabi Ayub mencapai derajat tertinggi pun harus rela menempuh sakit selama bertahun-tahun. Untung engkau hanya sakit, orang-orang disekitarmu masih setia menemanimu, materi pun engkau sangat berkecukupan. Sementara Nabi Ayub, disamping sakit, ia juga harus rela dicampakkan oleh orang-orang yang dicintainya. Hartanya pun musnah sedemikian rupa.”

“Itu kan Nabi Ayub, sedang aku................”

“Apa bedanya,” Potongku cepat,”Masalahnya bukan apakah seseorang itu nabi atau bukan nabi. Masalahnya bahwa sesama hamba Allah, kita harus selalu bersedia mewaspadai segala apa yang dititahkan-Nya atas kita.”

Seseorang yang muncul misterius tiba-tiba saja bertanya,”Engkau mencintainya, ya?”

Aku sedikit tersentak, kemudian hanya bisa melemparkan senyum.

“Kalau engkau mencintainya, katakan terus terang itu padanya!”

“Entahlah. Aku tak tahu apakah aku mencintainya atau tidak. Aku sendiri bahkan berdoa agar perasaan itu tidak pernah tumbuh dalam relung hatiku. Aku tidak ingin mengekang persahabatan ini dengan kotak-kotak cinta yang pasti akan melahirkan tuntutan satu sama lain. Cuma yang tidak pernah aku pahami, mengapa selama ini ia begitu sering hadir menemani hari-hariku. Ditengah kekagumanku padanya, ternyata aku menyimpan sebuah harapan bisa membantu mengatasi masalahnya, terlepas apakah ia bersedia atau tidak.”

“Itu berarti kamu memang mencintainya,” Pak Wongso kini yang bersuara,”Sudahlah, kamu mesti bersyukur dengan semua itu, ditengah pengembaraanmu yang hampir gila, ternyata Tuhan masih membukakan pintu kasih-Nya dengan menumbuhkan perasaan cinta itu dalam hingar bingarnya perasaanmu. Sepanjang perasaan itu tidak menjadi penghalang bagimu untuk bermesraan dengan-Nya, engkau harus berbahagia. Sebagai manusia, kita toh ndak bisa melepaskan diri dengan semua yang dititahkan-Nya atas kita.”

Aku lebih memilih diam menanggapi suara Pak Wongso.

Sebuah suara tiba-tiba bergema sedemikian kerasnya,”Ia sudah tunangan, Kang!”

Langit pun mendung seketika. Aku pingsan disambar geledek. ***

Post a Comment

أحدث أقدم