Peluncuran Buku Puisi di Lamongan
Bersama Herry Lamongan dalam Acara Peluncuruan Buku Puisi di Salah-satu Kedai Kopi di Lamongan
KOMUNITASNGOPI.com - Nama aslinya Djuhaeri, tapi orang-orang lebih mengenalnya dengan panggilan Herry Larnongan. Laki-laki kelahiran Bondowoso, Jawa Timur, pada 8 Mei 1959 ini sepak terjangnya dalam dunia sastra (terutama puisi dan geguritan) tak mungkin diragukan. Karya-karya itulah yang membuat namanya bisa dikenal oleh hampir semua kalangan pegiat sastra dan budaya, baik dalam kotanya sendiri, juga di berbagai kota lain.

Dilahirkan dari seorang ayah bernama Ismail asli Lamongan, dan ibu Sukarsih dari Jember, Jawa Timur, Herry Lamongan adalah anak pertama dari sembilan bersaudara. Ia diangkat menjadi guru SD di Lamongan pada tahun 1979. Kemudian, tahun 1987, Herry menikah dengan Ashabul Maimanah yang juga seorang guru SD. Dari hasil pernikahannya itu, ia dikaruniai tiga orang anak, yaitu Radite Erlangga Adipalguna (1988), Nur Jannati Kallista Putri (1990), dan Sazma Aulia Al-Kautsar (1998). Meski karya-karyanya telah melanglang, hingga kini ia tetap memutuskan tinggal di Perumahan Made, Jalan Madedadi VI/36, Lamongan, Jawa Timur.

Dalam dunia kepengarangan, Herry Lamongan mengawali proses kreatifnya sejak tahun 1983 dengan proses yang berdarah-darah. Karya pertamanya berupa puisi, dipublikasikan lewat koran mingguan Eksponen di Yogyakarta. Hanya saja, puisi ini tidak mendapatkan honorarium sebagaimana mestinya. Demikian juga dengan karya berikutnya yang dimuat di koran Karya Bakti Denpasar. Meskipun karya-karyanya yang telah dimuat di media massa itu tidak diberi honor, hal itu tak membuatnya patah arang. Ia memutuskan menulis dan terus menulis.

Hingga kini, puisi dan guritan-guritannya telah tersebar di berbagai majalah dan surat kabar berbahasa jawa dan indonesia, seperti Panyebar Semangat, Jaya Baya, Mekar Sari, Djaka Lodang, dan Jawa Anyar. Karya-karya puisinya juga banyak terpublikasi melalui berbagai koran dan majalah, baik daerah rnaupun nasional, seperti Swadesi, Karya Bakti, Mingguan Guru, Nusa Tenggara, Simponi, Mimbar Masyarakat, Suara Merdeka, Surabaya Post, Pelita, Kedaulatan Rakyat, Bali Post, Yogya Post, Singgalang, Harison, dan masih banyak yang lain.

Meski awalnya Herry bercita-cita ingin menjadi seorang pelukis, tetapi takdir menyeretnya ke dunia lain. Justru ia lebih menekuni bidang budaya dan sastra. Dalam hal kepengarangan, ia mengaku banyak belajar dari banyak penyair, baik Indonesia maupun Jawa. Penggurit yang menurutnya telah membangkitkan semangatnya menulis guritan adalah Suripan Sadi Hutomo, Diah Hadaning, Setyo Yuwono Sudikan, dan Jayus Pete. Sedangkan penyair yang telah memberikan banyak hal kepadanya adalah Putu Arya Tirtawirya, Redi Panuju, Isbedy Setiawan Z.S., Wahyu Prasetya, dan lain-lain.

Unik memang, di antara banyak penyair yang enggan, untuk tidak mengatakan tidak sanggup, menulis geguritan, Herry Lamongan tetap menulis dalam dua bahasa, yaitu Jawa dan Indonesia. Menurutnya, bahasa Jawa memberikan nuansa kelembutan dalam rasa, baik saat diucapkan maupun ketika dituliskan. Sedangkan bahasa Indonesia menjadi sarananya untuk berkornunikasi dengan dunia yang lebih ]uas. Hanya saja, Herry mengaku bahwa jika diperbandingkan, menulis puisi Indonesia lebih mudah baginya daripada rnenulis guritan. Terbukti, hanya berbekal secangkir kopi dalam sebuah kedai kopi, sepersekian detik kemudian selarik puisi lahir dari tangannya menangkap momen yang berkeliaran di sekitarnya.

Sungguh menarik, di tengah gempuran budaya pop yang menyerbu dengan tawaran pragmatisme dan materialisme, Herry Lamongan tetap suntuk menyelami dunia ruhani yang ia terjemahkan melalui puisi. Bahkan ketika kebanyakan orang lebih memilih hijrah ke kampung-kampung metropolitan dengan segala prestise-nya, Herry tetap memilih tinggal di kota kecilnya, Lamongan, yang dulu tak pernah diperhitungkan. Itu pulalah yang membuat ia menyematkan kata Lamongan itu di namanya. Ia ingin melalui tulisan-tulisannya Lamongan tak dipandang sebelah mata. Dalam skala yang lebih jauh, Herry tak akan ingin lalai dengan asal usulnya

Menulis puisi bagi Herry Lamongan sudah seperti sebuah urat nadi. Menulis puisi baginya semacam pengembaraan tanpa akhir, penuh liku dan tantangan, dan tentu saja hal itu sangat rnengasyikkan. Oleh sebab itu, penyair yang tidak hanya menulis puisi, tetapi juga cerpen, drama, dan esai ini semakin mantap dengan dunia yang digelutinya. Bahkan tekadnya, ia bercita-cita ingin terus menulis puisi hingga akhir hayatnya. Maka berkat dedikasinya itulah, ia akhirnya berhasil memperoleh banyak penghargaan, diantaranya sebagai penulis puisi terbaik bersarna sembilan penyair lain dari Sanggar Minum Kopi, Denpasar, Bali, pada tahun 1989. Ia juga pernah menjadi penggurit terbaik dari Sanggar Sastra Triwida pada tahun 1995.

Tahun 2008 silam, naskah kumpulan puisinya juga terpilih sebagai penulis puisi anak terbaik nomor tiga tingkat nasional dalam even Sayembara Penulisan Buku Pengayaan yang diselenggarakan Pusat Perbukuan Nasional di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. Prestasi ini tentu patut dibanggakan. Sebab, Herry tercatat sebagai salah satu dari 894 orang yang lolos seleksi, terdiri dari peserta penulis fiksi dan non fiksi kategori penulisan puisi, prosa, maupun naskah drama.

Karya-karya Herry Lamongan sudah tak terhitung jumlahnya. Karya-karya itu adalah wujud semangatnya yang tak pernah padam, meski usianya menjelang senja. Tak terasa, pada Mei 2019 nanti, usianya telah mencapai bilangan 60. Sebuah angka istimewa dalam pengembaraan hidup manusia.

Untuk itulah, Pustaka Ilalang bekerja sama dengan Kostela dan FP2L berniat menyelenggarakan Tadarrus Sang Begawan sebagai Kado Cinta Untuk Herry Lamongan. Acara yang digagas adalah mengundang sahabat Herry Lamongan atau siapapun yang pernah bersentuhan dengannya walau hanya dalam sebuah kedai kopi untuk menulis sesuatu tentang Sang Begawan Sastra. Tulisan itu nanti akan dibukukan dan dipersembahkan untuk Herry Lamongan pada ulang tahunnya yang ke 60. Siapa saja tentu berharap, apa yang dilakukan oleh Herry Lamongan itu memantik semangat bagi siapa saja, agar pengembaraan ruhani atas sebuah puisi tak akan sirna, meski zaman sedang gelap-gelapnya.(*)

Post a Comment

أحدث أقدم