OPERASI face off pertama kali muncul ke permukaan ketika Lisa, perempuan asal Malang bernama lengkap Siti Nur Jazilah mengalami kerusakan wajah akibat disiram air keras oleh suaminya. Akibat ulah suaminya tersebut, wajah cantik Lisa kini tinggal kenangan. Untuk memulihkan kondisi wajahnya yang rusak berat, Lisa harus menjalani operasi rekonstruksi wajah yang berlangsung lama dan melelahkan. Terhitung sejak pertama kali dirawat di RSU dr. Soetomo pada Februari 2006 silam, Lisa telah menjalani dua belas kali operasi. Operasi terakhir dilaksanakan pada Agustus 2008, berupa koreksi wajah dan evaluasi total kontur wajah.

Senasib dengan Lisa, adalah Dini Setia Utami. Ia adalah bocah belasan tahun putri pasangan Surahmat dan Lilis Siti Maesaroh dari Bandung. Sebagaimana Lisa, Dini juga mengalami hal yang sama. Namun, apa yang dialami Dini mungkin jauh lebih berat. Disamping usianya yang masih kanak-kanak, kerusakan itu tak hanya menyangkut wajah, tapi seluruh tubuh mulai dari kepala sampai perut akibat kebakaran yang dialaminya ketika masih berusia tiga tahun. Selama sepuluh tahun Dini tak bisa memejamkan matanya meski dalam keadaan tidur sekalipun. Tangannya tak bisa bergerak bebas kecuali digerakkan 90 derajat. Bahkan, ketika rangkaian operasi itu telah dilakukan sampai enam belas kali, operasi itu harus tertunda gara-gara tak ada lagi kulit donor yang bisa diambil untuk menutupi bagian-bagian yang hilang.

Buku yang hadir di tangan pembaca ini mencoba memotret secara utuh perjalanan Dini kecil dalam menjalani kehidupannya yang penuh derita sejak musibah itu menimpanya. Dengan kondisi fisik tak sempurna (bahkan cenderung mengerikan akibat luka bakar), menyebabkan Dini terasing dari lingkungan sekitar. Ia tak memiliki teman bermain seperti anak normal lainnya. Yang lebih mengenaskan, Dini tak bisa mengenyam bangku sekolah gara-gara ditolak Kepala Sekolah dengan alasan kawatir jika menjadi bahan ejekan teman-temannya. Untungnya, ditengah deraan musibah yang begitu hebat menimpa hidupnya, Dini masih memiliki orang tua yang begitu menyayanginya. Sang Mamah -demikian Dini memanggil ibunya-, yang menempa Dini sehingga memiliki ketabahan batin luar biasa untuk anak seusianya. Sang Mamah adalah Ibu sekaligus sahabat. Orang tua, juga guru yang mengajarinya menulis, membaca dan berhitung. Mamah adalah segalanya baginya. Berkat Mamahnya, semangat kehidupan Dini tak pernah padam. Maka, satu-satunya yang ia inginkan saat ini dengan segala keterbatasannya adalah ingin membahagiakan kedua orang tuanya, terutama menjadi kebanggaan bagi Sang Mamah tercinta.

Tragedi di Kabaena
Awalnya, Dini terlahir normal sebagaimana layaknya bayi kecil yang imut dan cantik. Bencana itu bermula saat orang tua Dini memutuskan mengikuti program transmigrasi pemerintah dengan tujuan pulau di selatan Pulau Sulawesi bernama Pulau Kabaena, tepatnya di Desa Tedubara Kecamatan Sikeli. Tedubara adalah desa transmigran dengan sebagian besar penduduk peserta transmigrasi dari Pulau Jawa. Bulan-bulan pertama berada di daerah transmigrasi dilalui tanpa hambatan yang berarti bagi keluarga Surahmat dan Lilis. Bahkan bisa dikata, kehidupan mereka jauh lebih baik dibanding saat masih berada di Bandung. Mungkin, satu-satunya kekurangan selama berada di daerah transmigrasi adalah belum adanya instalasi listrik di daerah Tedubara. Maka, untuk penerangan sehari-hari, keluarga Surahmat menggunakan lampu yang berbahan bakar minyak. Siapa sangka. Hal itulah ternyata yang menyulutkan tragedi memilukan bagi keluarga Surahmat, terutama untuk si kecil Dini Setia Utami.

Waktu itu, kamis senja hari 9 Mei 1996, setelah menyalakan lampu minyak di bagian belakang rumah, Ibunda Dini lantas menyalakan lampu di bagian tengah untuk menerangi teras dan ruang tamu. Dini dan kakaknya, Jajat Sudrajat yang saat itu berusia 3 dan 5 tahun mengerubungi ibunya yang sedang menyalakan lampu. Tak disangka-sangka, lampu itu dengan begitu saja meledak. Kontan saja, tubuh ketiga manusia itu segera ditingkahi api berkobar-kobar. Ibunda Dini mengalami luka bakar di tangan dan kaki. Sementara luka bakar Jajat meliputi dada dan punggung. Di dadanya terdapat noda hitam yang menurut dokter disebabkan pembuluh darah mengalami trauma. Meskipun lukanya tidak terlalu parah, justru Jajat harus kehilangan nyawa gara-gara tak adanya pertolongan medis yang memadai. Yang memprihatinkan adalah si kecil Dini. Di usianya yang masih balita, Dini mengalami luka bakar yang begitu serius. Selain dada dan punggung, Dini harus kehilangan kecantikan wajah kecilnya. Bibir dan daun telinganya meleleh dilalap api. Kelopak matanya melepuh. Wajahnya menempel ke leher dengan dagu yang tak lagi berbentuk. Tangan kanannya juga terluka cukup parah. Kulit yang dulunya putih bersih kini melepuh dimana-mana.

Sejak kejadian itu, kehidupan Dini berubah seratus delapan puluh derajat. Ia harus menjalani operasi demi operasi untuk penyembuhannya. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dini menjalani operasi sampai empat kali. Namun, operasi yang dilakukan di RSCM hanyalah operasi kecil, bukan operasi rekonstruksi wajah atau face off. Memang, saat itu usia Dini masih terlalu muda, kulit donor yang dibutuhkan belum mencukupi. Apalagi, hampir sebagian besar kulit Dini rusak karena luka bakar. Ironisnya, ketika Dini siap melakukan operasi untuk pemulihan keadaan fisiknya, perawatan di RSCM harus terhenti gara-gara tak adanya biaya dari pihak keluarga. Baru ketika kisah Dini untuk pertama kali dipublikasikan di Buletin Siang RCTI tanggal 31 Maret 2006 atas bantuan Kamil-Elis, bekas tetangganya yang memiliki tetangga yang bekerja di Departemen News RCTI, secercah cahaya kembali datang. Sejak kondisi Dini diketahui publik, simpati dan bantuan datang beruntun. Dua rumah sakit, yakni Rumah Sakit dr. Soetomo tempat pasien Siti Nur Jazilah dirawat, juga Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung menyatakan siap melakukan operasi wajah terhadap Dini. Berdasarkan pertimbangan tempat, orang tua Dini akhirnya memilih RSHS Bandung sebagai tempat perawatan putrinya.

Begitulah, kisah Dini memang begitu memilukan. Menurut Sang Penulis, Ide menulis buku ini sebenarnya berawal dari penilaiannya terhadap media yang dirasakannya tidak adil dalam memberitakan Dini. Ketika operasi face off pertama kali dilakukan terhadap Lisa, begitu santer media mempublikasikannya. Namun, sebagai pasien face off kedua di Indonesia, porsi pemberitaan Dini dinilai sangat minim. Bahkan menurutnya, andai saja Ariel Peterpen, band idola Dini tidak membesuknya saat tergolek lemah di rumah sakit, mungkin porsi pemberitaan Dini di media massa akan semakin kecil. Itulah sebabnya, penulis ingin mengajak publik melihat lebih jauh bagaimana perjuangan Dini dan keluarganya ketika bergelut dengan petaka kehidupan yang menghampirinya, sekaligus mengambil ibrah darinya.

Sebagai sebuah buku true story, kehadiran buku ini begitu penting, terutama bagi pembaca yang ingin mengecap nilai dari sebuah perjalanan panjang kehidupan. Dini kecil adalah potret manusia tak berdosa yang begitu tabah dalam menanggung pedihnya kenyataan hidup. Meskipun cobaan begitu berat menerpa hidupnya, Ia tak pernah mengeluh, apalagi berputus asa. Berkat dorongan kedua orang tuanya (terutama Sang Mamah), Dini mampu bertahan dalam derita, cobaan, dan juga cemoohan. Ketika sepenggal asa kembali menghampirinya, keinginan Dini sederhana, Ia ingin berdiri kuat diatas kakinya sendiri. Dini tak ingin menjadi beban dan bergantung pada orang lain. Keinginannya yang paling utama adalah ingin menjadi kebanggaan sekaligus membahagiakan kedua orang tuanya kelak. Dibalik kondisi fisiknya yang buruk rupa, Dini ternyata berhati mutiara. ***


Judul Buku : Face Off, Dan, Dini pun Berganti Wajah...
Penulis : Rahmania Violeta
Penerbit : Semesta Inspirasi, Bandung
Cetakan : I, Juli 2008 / Rajab 1429 H Tebal : 128 + viii halaman
Peresensi : Em. Syuhada'

Post a Comment

أحدث أقدم