Pakde Mus merasa minum kopi pada sore ini tidak hikmat lagi. Secangkir kopi dengan selintingan kretek biasanya ia nikmati dengan khusyuk sambil memandangi cakrawala di langit petang. Tapi sore ini suasana hatinya lain. Entahlah, ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Sesuatu yang sulit jika harus diungkapkan dengan kata-kata. Sesuatu yang muncul sejak masalah telpon itu mengemuka.

Pikiran Pakde menerawang. Dari layar televisi ia saksikan bencana demi bencana datang silih berganti. Belum usai duka di Lombok akibat gempa yang meluluh-lantakkan kehidupan warga, air mata harus kembali tumpah di Palu dan Donggala. Belum kering air mata di Banten tersebab tsunami yang tiba-tiba saja menghempas, warga Makassar dan sekitarnya menjerit karena hantaman banjir bandang. Belum lagi di tempat-tempat lain, puting beliung, tanah longsor, gunung meletus, saling kejar mengejar.

Pakde kembali menerawang. Sambil tangannya menghisap kretek yang tinggal separuh, ia menghela nafas dalam-dalam. Kepulan asap berkeliaran di udara, hingga asap putih itu berangsur-angsung lenyap terbawa angin. Sudah pasti bencana alam yang bertubi-tubi itu memporak-porandakan infrastruktur dan fasilitas lainnya. Rumah ambruk, harta benda sirna, nyawa melayang. Tak terkecuali gedung sekolah tempat tunas bangsa menimba ilmu. Sebagian retak, ambruk, bahkan tak sedikit yang rata dengan tanah. Jalan pendidikan di daerah yang terkena bencana sempat lumpuh. Upaya pemulihan pasca bencana tentu memerlukan ongkos yang tak sedikit. Tidak hanya dana tapi juga sumber daya manusia.

Akan tetapi pada saat yang nyaris bersamaan, kabar tentang telepon itu justru datang. Telepon dari seseorang nun jauh di sana. Mau tidak mau, Pakde terganggu pikirannya. Ngopinya menjadi tidak khusyuk.

***

Telepon itu bermula ketika pertengahan bulan silam, seorang pejabat sebuah instansi membuat pemberitahuan melalui akun media sosialnya. Pemberitahuan yang begitu menggoda. Yaitu akan mengirimkan para pendidik generasi bangsa itu untuk belajar ke negeri yang jauh. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, seribu orang.

Tentu kabar itu disambut baik oleh semua. Tak sedikit yang berharap diam-diam atau terang-terangan akan bisa terpilih dan mengikuti kegiatan itu. Bisa belajar di tempat yang jauh, bisa menyaksikan sebuah dunia dengan belahan langit yang berbeda, apalagi tanpa berpayah-payah urusan dana karena telah disokong oleh negara.

Tapi tidak dengan Pakde Mus. Lelaki berumur itu justru berpikiran lain.  Maka ketika di akhir bulan urusan telepon itu  menjadi trending topic, ngopi Pakde menjadi tak hikmat lagi. Telepon yang kabarnya untuk menanyakan kesiapan para peserta terpilih, juga untuk menyeleksi cas cis cus peserta dalam kemampuan berbahasa,

Pakde bukannya iri, dengki, atau apalah namanya. Tapi sebagai seorang pendidik yang telah banyak makan garam, wajar jika ia memiliki cara pandang berbeda. Seandainya toh dipilih, ia tentu akan berpikir seribu kali sebelum kemudian menentukan sikap.

Pakde bukan ahli ekonomi, sebagaimana ekonom yang kerap ia saksikan di layar televisi yang begitu lihai nemainkan angka-angka. Tapi ia tahu, bahwa program belajar ke negeri yang jauh itu akan menyedot dana yang besar jumlahnya. Dana itu pasti akan menguras banyak keuangan negara.

Padahal jika diperhatikan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, jarang ada negara lain yang mengirimkan pendidiknya ke negeri yang jauh dalam jumlah yang bisa dibilang fantastis. Kalau pun ada, jumlahnya tidak sebanyak seperti yang akan terjadi di sini.

Pakde bertanya-tanya, mengapa setiap yang berkaitan dengan negeri yang jauh di luar sana selalu menjadi daya pikat. Ini mungkin salah satu kelemahan mentalitas, pikirnya kemudian. Mental semacam inilah yang seharusnya direvolusi. Revolusi mental yang digembar-gemborkan berpotensi menjadi macan kertas, karena kenyataan di lapangan belum bisa menyentuh pada level perubahan sikap mental seseorang.

Jika saja ongkos ke negeri yang jauh itu dialihkan ke wilayah bencana, tentu akan mempercepat pemulihan pendidikan di wilayah-wilayah terdampak. Disamping menunjukkan sense of crisis, langkah ini juga akan menguatkan Wawasan Nusantara di kalangan para pendidik.

***

"Percayalah pada kekuatan bangsa sendiri. Negeri ini kaya sinar matahari, tapi kenapa justru lebih memilih mengejar bayang-bayangnya. Yakinlah pada kekuatan cinta. Cinta pada ibu pertiwi," Keyakinan itu begitu kuat menancap di dada Pakde.

Di negeri ini, tidak kurang orang pintar yang patut dijadikan sumber belajar, tapi mengapa kita bersikap inferior dengan justru belajar kepada bangsa asing?

Kita adalah garuda yang perkasa. Hanya saja, keperkasaan itu tak pernah tampak karena kita tak sadar atau bahkan tak tahu kita adalah garuda. Jika harimau tidak tahu bahwa ia harimau, mungkinkah ia akan mengaum? Boleh jadi ia hanya akan mengeong karena menganggap dirinya kucing.

Ada banyak mutiara di negeri ini. Tengoklah misalnya di bidang kesehatan, Jepang justru belajar dari anak negeri yang menemukan mesin pembunuh kanker. Produknya dinilai pakar kesehatan Jepang lebih efektif memerangi sel kanker dibanding produk yang lain. Sehingga Jepang rutin memesan produk karyanya.

Di tempat lain, Norwegia memproduksi secara massal kompor gas ciptaan anak negeri. Kompor yang digagas dosen salah satu universitas ternama ini hemat bahan bakar dan ramah lingkungan. Cara kerjanya berbasis biomassa. Emisi gas buangnya jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan WHO. Di tempat lainnya lagi, perusahaan minyak terkenal dunia melirik rumus terapan tentang efisiensi penggunaan minyak juga temuan anak negeri.

Bukankah mereka, anak-anak negeri itu patut dijadikan rujukan belajar bagi lainnya? Mungkin bisa dimaklumi jika belajar di negeri yang jauh itu betul-betul mendesak. Tapi bukankah lebih bermartabat jika lebih memahami jati diri. Jangan sampai mereka, mutiara-mutiara itu meredup di negeri sendiri, tapi tumbuh bersinar dan berkembang di negeri orang.

Lagi-lagi Pakde hanya mampu menerawang. Negeri ini memang aneh. Semua yang berbau asing dianggap lebih hebat dan dapat mendongkrak prestise, sehingga orang-orang begitu bangga ketika bersentuhan dengan produk dari negeri jauh. Ini cara pandang yang menurut Pakde bukan hanya kurang tepat, tapi sangat inferior dan tidak percaya diri. Pakde bukan anti asing, tapi yang berasal dari luar harusnya dikontrol dan diarahkan sehingga tetap pada jati diri kebangsaan.

Pakde menguap. Kantuk tiba-tiba menyergapnya ketika kopinya tinggal ampas. Ia kembali hanya bisa mendesah. Sebab, ia bukan siapa-siapa. Ia hanyalah kawulo alit yang tak memiliki kewenangan apa-apa.(*)

*)Tulisan ini diilhami dari status facebook seorang guru SMA nun jauh di sana.

Post a Comment

أحدث أقدم