GPAI Kec Paciran Lamongan
KOMUNITASNGOPI.com - Melihat dunia pendidikan generasi milenial, banyak sekali tantangan yang dihadapi seorang pendidik terkait dengan sikap dan moral peserta didik yang sangat mengkhawatirkan. Krisis moral merambah hampir di seluruh strata. Moral sangat berkaitan dengan kecerdasan emosi. Sementara program pendidikan yang telah dijalankan banyak yang hanya mengedepankan IQ, menitik-beratkan pada kecerdasan akal. Padahal kecerdasan emosi, kecerdasan hati sangat penting dalam menghadapi problematika hidup, sikap yang tangguh dalam menghadapi perkembangan zaman.

Maka pendidikan yang mengembangkan kecerdasan emosi menjadi solusi bagi krisis moral yang terjadi di zaman ini. Seorang pendidik seyogyanya mendidik dengan menggunakan kecerdasan emosi, dengan cinta kasih dan keihklasan supaya melahirkan manusia-manusia yang cerdas emosi, cerdas hati, tangguh, optimis, dan pandai beradaptasi.

Kecerdasan Emosional (EQ) menurut Ary Ginanjar A. dengan mengutip pendapat Robert K Cooper phd. bahwa kecerdasan emosi adalah hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang dipikirkan mejadi sesuatu yang dijalani, hati tahu hal-hal yang tidak atau tidak dapat diketahui pikiran. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas, dan komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut belajar, menciptakan kerjasama, memimpin, dan melayani.

Bisa disimpulkan, kecerdasan emosi bagi pendidik adalah bagaimana cara mendidik dengan ketulusan dan keihklasan, tergerak hatinya untuk membimbing, mendidik dengan segenap jiwa dan raganya. Peran kecerdasan emosional sangat penting untuk keharmonisan suatu pendidikan, yaitu wujudnya simpati, empati, kasih sayang, dan sikap pengertian antara pendidik dan yang terdidik. Untuk mewujudkan peserta didik yang berilmu dan berakhlak baik (berkarakter).
Baca Juga: Mengapa Guru Harus Menulis?
Dewasa ini, kita banyak melihat bahkan mengalami bagaimana mirisnya dunia pendidikan karena anak-anak zaman sekarang lebih agresif, banyak tingkah, lebih suka menyendiri, cenderung tidak peduli dengan lingkungan sekitar, labil, mudah emosi, selalu curiga, dan egois. Dari beberapa kasus, seorang peserta didik banyak yang berani, baik secara lisan maupun sikap menentang gurunya, bahkan tidak lagi mengedepankan hati nurani. Inilah periode kelamnya pendidikan, merupakan gambaran minimnya kecerdasan emosi peserta didik. Lantas, siapa yang disalahkan?

Penulis tidak akan mencari kambing hitam, tapi berupaya menjadikan pendidikan di Indonesia lebih menyeimbangkan antara kecerdasan akal (IQ) dengan kecerdasan emosional (EQ) dan spiritual (SQ), dengan melibatkan pendidik dan orang tua sesuai dengan peranan masing -masing. Dimana pun tempatnya, pendidik harus selalu siap membimbing, membina, merangkul, memahami kegelisahan, memecahkan problematika hidup, mengarahkan siswa hingga menjadi cerdas, berkarakter, religius, mandiri, juga cinta tanah air. Untuk mencapai semua itu, dibutuhkan keihlasan dan keteladanan seorang pendidik. Bukan hanya sekedar penguasaan materi dan menghafal rumus-rumus. Disinilah pentingnya peranan spiritual dan emosional kecerdasan seorang pendidik.

Mengapa keteladanan? Karena pendidikan yang mengembangkan kecerdasan emosi adalah dengan memberikan keteladanan. Pendidik yang emosionalnya tidak baik, maka jelas tidak bisa dijadikan teladan. Contoh kecil yang sering terjadi di dunia pendidikan, apabila pendidik mempunyai siswa yang aktif dalam tindakan, tergolong banyak bicara, dan sebagainya. Kebanyakan pendidik memvonisnya sebagai anak nakal. Bahkan tak jarang, banyak pendidik yang mengucapkan kalimat yang mematahkan semangat siswanya. Bukankah ini sangat tidak dibenarkan?

Justru inilah tantangan bagi seorang pendidik dengan menyentuh hatinya, bagaimana menumbuhkan sikap saling menghormati, menjaga perasaan orang lain, tidak bersifat egois, dan lain-lain, Keteladanan pendidik itulah yang akan membekas dalam ingatan siswa. Kebiasaan sehari-hari pendidik dalam membudayakan senyum, salam, sapa (3S), dapat menggugah kecerdasan emosi peserta didik. Siswa akan terbiasa tersenyum, memberi salam, menyapa jika bertemu dengan tetangga, teman, keluarga, dan gurunya.

Kebiasaan yang mungkin kelihatan remeh itu efeknya sangat besar. Anak akan lebih berpikiran positif, simpatik dan penuh kasih sayang. Dalam dirinya akan tertanam rasa rendah hati dan peduli terhadap sesama. Kebiasaan yang baik, yang apabila dilakukan terus menerus maka akan menjadi perilaku yang reflek dilakukan (akhlak, moral yang baik).
Baca Juga: Mendidik Dengan Hati
Kecerdasan emosi seorang pendidik bisa diartikan juga sebagai senjata pendidik dalam membimbing, mendidik dan menyampaikan pembelajaran dengan kesabaran, keuletan, ketulusan hati, kejujuran mendengarkan hati nurani, hingga lahir rasa cinta, kasih sayang, selalu siap menjadi pendengar, tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah dan keihlasan dalam mendampingi , juga mendidik peserta didik

Berdasarkan hasil survey di Amerika Serikat (1918) tentang IQ menurut Daniel Goleman, ternyata ditemukan paradoks yang membahayakan. Sementara IQ anak-anak makin tinggi, kecerdasan emosi mereka justru menurun. Yang paling mengkhawatirkan adalah data hasil survey terhadap orang tua dan guru, bahwa anak -anak generasi sekarang lebih sering mengalami masalah emosi ketimbang generasi terdahulunya. Anak anak sekarang tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah dan sulit diatur, lebih gugup, dan cenderung cemas, impulsif, dan agresif.

Kesimpulannya, bahwasanya pendidikan tidak berhenti pada penguasaan materi, tidak sekadar menuntaskan tema pembelajaran sesuai kalender pendidikan saja. Yang dibutuhkan, pendidik harus membina, membimbing dengan ikhlas, memberi teladan sesuai dengan tuntunan agama dan keteladan dalam bersikap, bertindak, dan berucap dengan menggunakan hati nurani, sehingga akan lahir generasi penerus bangsa yang religius, berakhlak mulia,dan berilmu.(*)

*) Penulis: Hiba Alfiyah, S.Pd, sapaan akrabnya Hiba. terlahir di Desa Brondong Kabupaten Lamongan, tanggal 2 februari 1982. Sosoknya sederhana dan keibuan, punya kegemaran menulis sejak remaja. Kegemarannya itu menjadi ajang melampiaskan keresahan suasana hatinya, karena ia memang tidak biasa banyak bicara. Sekarang beraktifitas sebagai GPAI di Lamongan. 

Post a Comment

أحدث أقدم