Gambar Baliho Caleg Unik (sumber foto: htpp://me.me)
KOMUNITASNGOPI.com - Menjadi manusia, apalagi di zaman ini, ternyata bukan perkara mudah. Berbagai peristiwa terjadi, yang melibatkan manusia semakin menunjukkan bahwa tidak mudah menjadi manusia. Itulah barangkali, kenapa ketika Gus Mus diminta memberikan ular-ular pada pernikahan Sabrang Noe (Vokalis Letto) di Yogjakarta beberapa tahun silam, nasehat yang diberikannya singkat saja; tetaplah menjadi manusia.

Memang, untuk menjadi manusia, tak cukup hanya mengandalkan perangkat keras berupa badan wadag dengan menafikan segala unsur kemanusiaan lain yang telah dianugrahkan Sang Pencipta. Ada banyak hal yang harus dilakukan agar manusia tetap sebagai manusia. Salah-satunya dengan memelihara sejumlah kesadaran, bahwa manusia adalah khalifah, adalah wakil Tuhan yang bertugas mengurusi segala sesuatu demi kebaikan alam semesta.

Namun sayangnya, kekhawatiran Malaikat tatkala dikabari ihwal penciptaan manusia benar adanya. Bahwa kecenderungan manusia hanya dua; membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah (QS. 2:30). Tengoklah misalnya tragika sosial yang lumrah terjadi hari-hari ini. Kekerasan merebak di mana-mana. Hanya karena persoalan sepele, orang dengan begitu gampangnya menghilangkan nyawa orang lain. Atas nama demokrasi, penjarahan dan perampokan tak kunjung usai. Bahkan dalam kasus yang lebih miris, pemimpin yang seharusnya menjadi sosok yang harus diteladani kerap berlaku tidak sebagai manusia. Lantas, bagaimana sebetulnya menjadi seorang manusia?

Belajar dari Satria Jawa
Jika berkaca dari kehidupan satria jawa, dikenal adanya empat tahapan yang harus dilalui manusia agar berhasil sebagai manusia, yaitu tapa (bertapa), dadi (menjadi), ngerti sangkan paraning urip (memahami asal tujuan hidup), dan bali tapa atau kembali bertapa (Mustofa W. Hasyim, 2000).

Tahapan pertama adalah tapa. Bertapa adalah proses menjadi cantrik (siswa peguron). Pada tahap ini, manusia harus mencari ilmu sebanyak-banyaknya untuk bekal hidupnya. Mencari ilmu tidak hanya cukup mengandalkan sekolah formal, lebih dari itu, manusia juga harus mengerti ilmune wong urip (ilmunya orang hidup). Rasul sendiri bahkan sebelum didaulat menjadi Nabi dan Rasul, terlebih dulu bertapa di gua hira.

Artinya, sebelum menjadi seorang pemimpin, Rasul terlebih dulu menata jiwa dan mentalnya dengan bertapa. Bertapa adalah proses mencari hakekat hidup. Tentu saja dalam menjalani masa-masa ini, manusia harus siap tirakat, bersedia lara lapa, mau merasakan sakit dan sengsara demi memperoleh kesempurnaannya kelak.

Tahap yang kedua adalah dadi. Pada tahap ini, manusia telah mentas dari gua hira untuk bergabung kembali ke tengah masyarakat demi mengaplikasikan yang diperolehnya selama bertapa. Pada titik ini, manusia mungkin menjadi ustadz, kiai, politisi, seniman, dokter, lurah, camat, tukang becak, bupati, atau apapun saja embel-embel sosial yang telah melekat dalam kebudayaan masyarakat.

Proses ‘menjadi’ pada dasarnya alat dari tujuan hidup yang sejati. Ibarat sebilah pisau, bukan menjadi pisau yang penting. Yang terutama adalah bagaimana manusia memiliki kecerdasan batin agar sebilah pisau tidak mencelakakan dirinya sendiri, apalagi menciderai manusia lain pada umumnya.

Terdapat dua kemungkinan ketika melewati tahapan ini. Pertama, manusia mungkin sampai pada tahapan yang ketiga, ialah mengerti sangkan paraning urip (mengerti asal muasal hidup, hidup adalah dari Allah menuju Allah). Ketika manusia ‘mengerti’, yang dilakukan senantiasa mendatangkan kebaikan bagi orang banyak.

Kalau menjadi pejabat umpamanya, ia tahu bahwa jabatan adalah alat (washilah), suatu musibah yang jikalau tidak memiliki keteguhan hati, maka dipastikan manusia akan terperosok ke dalam jurang cobaan yang dapat menggelincirkan kemanusiaannya kapan saja. Ketika memanggul jabatan, tidak serta-merta manusia jenis ini akan mengucapkan alhamdulillah, justru ia berkata naudzubillah.

Namun faktanya, hal tersebut bukan hanya tidak terjadi di zaman ini, tapi proses mendapatkan jabatan itu sendiri merupakan hal yang amat mencengangkan. Bagaimana mungkin seorang pemimpin mencalonkan dirinya sendiri dengan biaya yang membelalakkan. Kemudian begitu percaya diri mengatakan paling baik sehingga layak untuk dipilih. Bukankah hal tersebut sangat bertolak-belakang dengan logika dan akal sehat?

Terlepas dari itu semua, seorang pejabat yang pemimpin seyogyanya manusia pertapa yang mengerti sangkan paraning urip. Sebab, kondisi tersebut akan membawa manusia pada keadilan, kemakmuran, serta kesejahteraan. Ketika pejabat berasal dari manusia jenis ini sampai pada tahapan yang keempat, yaitu bali tapa, ia akan mencapai derajat sebagai seorang resi atau pandhita.

Namun sayangnya, ketika melewati tahapan dadi ini, banyak manusia terperangkap pada kemungkinan kedua, ialah cenderung untuk lali (lupa pada sangkan paraning urip). Berbeda dengan yang pertama, produk yang dihasilkan adalah keadaan sebaliknya.

Orang tua yang lali, produknya adalah anak-anak yang jauh dari nilai agama dan kemanusiaan. Pendakwah yang lali, boleh jadi menggunakan agama hanya sebagai kedok. Apalagi pemimpin yang lali, yang dilakukan tidak berusaha sedemikian rupa mengupayakan kesejahteraan rakyat, justru ia berjuang mati-matian untuk mengumpulkan materi, meningkatkan sedemikian rupa kemewahan pribadi, sehingga penderitaan rakyat banyaklah yang akan tercipta.

Hari-hari ini, kontes lima tahunan akan segera dilaksanakan. Meski gendang kampanye belum resmi ditabuh, namun aroma pilpres pileg jauh-jauh telah menyita dan membelah manusia menjadi kubu-kubu. Tak hanya kampret dan cebong, ada juga percil dan wedus. Jangan kaget jika kemudian bermunculan orang-orang baik, gambar-gambar baik, dan tentu saja kata-kata yang dirangkai sebaik-baiknya. Kiita tentu saja jangan mudah terjebak.

Semoga para pemimpin negeri ini dalam kurun waktu mendatang adalah manusia-manusia ‘menjadi’ yang tak mudah terserang virus lali. Sebab jika hal itu terjadi, virus itu bukan hanya mematikan, tapi menyebabkan manusia tidak berbuat sebagaimana manusia.

Kita sangat berharap, bahwa pemimpin negeri ini hanya berasal dari golongan makhluk yang bernama manusia. Bukan yang lain.(*)

*)Em. Syuhada', penulis lepas.

Post a Comment

أحدث أقدم