Artikel Juara 3 Lomba Kemdikbud
RUU Sistem Perbukuan hendak rampung. Kita berharap, buku menjadi garda terdepan konteks perluasan akses pendidikan yang nyata bagi masyarakat. Tamsil Presiden Joko Widodo berbelanja buku pada beberapa waktu lalu boleh dikata menjadi simbol kepedulian Negara pada pencerdasan rakyat. Lantas, apa menariknya membincang buku?

Salah satu tanda kemajuan sebuah bangsa ialah masyarakatnya yang menggilai buku. Lazim pemandangan masyarakat di banyak negara: di stasiun, halte, bus, sudut-sudut kota, waktu luang diisi dengan aktivitas membaca buku dan koran. Untuk saat ini, tentu, kita tak perlu menanyakan kebiasaan luhur itu di negeri ini.
Baca Juga: Juara 1 Lomba Artikel Kemdikbud 2018 Kategori Guru
Di tengah lesu darah kompleksitas kondisi perbukuan di Indonesia mulai dari pajak tinggi yang dibebankan penerbit dan penulis sehingga berdampak turunnya produktivitas terbit buku, juga diperparah oleh minat baca kita yang rendah. Bahkan penelitian Taufiq Ismail rentang 1975-2015 menyebut sebagian besar siswa kita tidak khatam menelaah satu pun karya sastra selama bersekolah.

Warta mutakhir, gerakan-gerakan menumbuhkan gemar membaca terus digalakkan, duta baca ditunjuk, perpustakaan digital untuk mengakomodasi bagi yang menubuh dengan gadget (gawai) pun ramai dibuat. Ikhtiar macam ini patut kita apresiasi. Meski demikian, dorongan-dorongan melek literasi sedemikian ini kiranya hanya cukup menjadikan seorang pembaca buku sebagai sekadar membaca.

Lebih jauh lagi, tanggung jawab pendidikan tidak saja bertumpu pada sekolah dan pemerintah. Kewajiban pemuliaan pendidikan dilakukan lintas ragam profesi, tidak hanya yang berprofesi guru. Masyarakat menjadi bagian penting sebagai basis penguatan serta keterlibatan di pendidikan informal. Cara-cara yang dilakukan lazimnya berupa mendirikan lembaga pendidikan gratis.

Tantangan pendidikan di Indonesia tidak sederhana, sangat kompleks. Formulasi teknisnya terus berkelindan: revisi kurikulum, pelatihan guru, peningkatan dana operasional pendidikan, dan seterusnya. Di sisi lain, rupanya ada penyakit kronis nan mematikan yang diidap anak didik kita yang mestinya menjadi kekhawatiran: malas membaca buku. Hal ini disadari sepenuhnya oleh Negara yang kemudian menerbitkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang salah satu itemnya berupa kewajiban bagi setiap siswa untuk membaca buku selama 15 menit selain buku mata pelajaran sebelum hari pembelajaran.
Baca Juga: Lomba Artikel, Karya Jurnalistik, dan Foto Pendidikan dan Kebudayaan 2019
Selama ini pengembangan mutu pendidikan lebih berkisar pada guru sebagai subyek. Padahal basis penguatan pendidikan juga mengacu pada peningkatan belajar si anak didik yang diupayakannya sendiri. Mereka dituntut perlunya mengembangkan pengetahuan secara mandiri. Tidak menggantungkan sepenuhnya pada sosok guru dan kurikulum. Sehingga, anak didik diharap berpunya wawasan lain nan luas yang bisa dikembangkan di ruang kelas. Dikaitkan dengan materi pelajaran. Dan, terjadi diskusi guru-anak didik.

Upaya pemerintah demikian itu dilakukan lantaran mafhum bahwa minat baca anak didik-beserta masyarakat kita sangat rendah. Bambang Supriyo Utomo (2015) menyebut bahkan tak sampai satu buku dikhatamkan dalam tempo setahun. Jauh sekali ketimbang masyarakat di negara lain (baca: Jepang) yang bisa menyelesaikan bacaan sepuluh buku dalam waktu yang sama.

Kini, hampir-hampir di semua sekolah telah tersedia perpustakaan. Tapi, tantangan lain adalah minimnya buku yang tersedia. Kalaupun tersedia, bentuk bacaannya adalah buku mata pelajaran. Masih terbilang minim buku-buku umum non pelajaran. Buku dongeng atau cerita rakyat yang mengandung seruan moral, apakah sudah mencukupi di perpustakaan Sekolah Dasar? Dan, buku-buku yang lain sebagai penunjang penambahan wawasan bagi pelajar SMP dan SMA yang kiranya juga setali tiga uang.

Perpustakaan sekolah membutuhkan buku-buku ilmiah populer, bukan tumpukan buku mata pelajaran. Menggantungkan hanya kepada pemerintah sanggup menyediakan ragam jenis buku bacaan macam itu kiranya kurang arif. Namun, lantaran tanggung jawab pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, menjadikan persoalan rendahnya minat baca adalah bagian dari tugas kita bersama pula.

Di Yogyakarta, beberapa penerbit buku menjadikan ajang sumbang buku untuk sekolah maupun pesantren sebagai bagian dari penjawantah visi-misinya. Dan, kini, telah banyak penerbit buku besar mulai melakukan hal serupa. Mendonasikan buku-buku terbitannya untuk disumbangkan kepada perpustakaan sekolah.Ikhtiar para penerbit tersebut dalam rangka meningkatkan minat baca dan wawasan anak didik patut diapresiasi lantaran penerbit buku tidak terus-menerus berada dalam logika bisnis semata.
Baca Juga: Seleksi Penulis Buku Bacaan Literasi 2019
Setelah ketersediaan buku-buku dan minat baca tumbuh, anak didik perlu ruang untuk menuangkan gagasan. Selain majalah dinding (mading) dan majalah sekolah, wadah ekspresi menulis rupanya juga disorongkan oleh media massa cetak lokal yang menyediakan halaman khusus menulis kalangan pelajar. Ketika anak didik telah terbiasa membaca dan lalu menulis, implikasi ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia, tidak terus disodori dengan pertanyaan teoritis tentang elemen-elemen apa saja dalam sebuah puisi dan cerpen. Namun, anak didik ditantang untuk bisa membuat produk sastra.

Menjadi relevan dan menemukan kesesuaian antara kebijakan Negara tersebut di atas dengan tesis Ali Imron (1996) dalam buku Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, bahwa keberhasilan implementasi kebijakan terutama di bidang pendidikan sangat ditentukan oleh adanya dukungan masyarakat. Walhasil, langkah penerbit buku dan kebijakan redaksi koran daerah di atas, membuktikan bahwa keterlibatan publik dalam membangun keadaban pendidikan sememangnya sangat diperlukan dan hendaknya terus-menerus ditingkatkan.

Jalur meresensi buku
Selain itu, yang tidak bisa dilepaskan begitu saja perkembangan perbukuan di Indonesia akhir-akhir ini adalah munculnya para peresensi buku. Dibanding suasana dunia peresensian beberapa waktu lampau, kini, gairah meresensi buku semakin meningkat. Kemunculan peresensi anyar terus bertumbuh. Mengapa bisa demikian? Bukankah ini semacam paradoks tentang gairah lesu perbukuan di Tanah Air kita?

Apalagi, ruang resensi hampir-hampir hanya tayang sekali seminggu. Itu pun dengan space terbatas. Dan, tidak sedikit media massa cetak tidak memberikan honorarium untuk resensi yang dimuat. Mengherankan lagi terhadap mereka yang bersetia meresensi, juga tidak sedikit penerbit buku yang enggan memberikan fee. Jadi, mengapa justru semakin banyak kemunculan peresensi?

Terlepas dari anasir fee/honorarium, ternyata mereka lebih tertuju untuk memburu buku baru dan bermutu. Buku baru menjadi incaran untuk segera mereka konsumsi. Para peresensi ini dengan riang menggumuli buku, merampungkan menulis resensi, dimuat koran daerah dan klimaksnya mendapat buku baru dari penerbit walau hanya satu buku. Ada kepuasan batin tersendiri yang mereka rasakan dengan membedai kelaziman masyarakat dalam memperoleh buku dengan cara membeli di toko buku.
Baca Juga: Kompilasi Karya Pemenang Lomba Artikel dan Karya Jurnalistik 2018
Semarak meresensi di media massa cetak memang diakui tidak menjamin tumbuhnya masyarakat gandrung membaca. Tapi, pada bagian ini terdapat peran penting arti resensi, yakni, tidak sembarang buku dan atau tidak sembarang resensi bisa dimuat. Dengan kata lain, resensi yang dihidangkan setelah lolos seleksi redaktur koran benar-benar bersumber dari buku-buku yang bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat.

Tantangan ke depan bagi peresensi ialah menegaskan komitmen bahwa dirinya bukan agen marketing buku. Ia merupakan penimbang adil buku. Menyajikan fakta dan analisa berimbang kelebihan dan kelemahan buku. Jadi, peran peresensi sangat vital dalam kemudi melek literasi.

Lepas dari itu, kehadiran peresensi bak telah membacakan dan menuliskan isi buku kepada khalayak. Masyarakat dicukupkan membaca resensi sebagai pengantar. Bila menarik, masyarakat bisa membaca suatu buku tersebut secara utuh dan tuntas. Membaca resensi di banyak media massa cetak akan membawa kita serasa telah membaca banyak buku. Serasa pula memiliki perpustakaan dan semakin memahfumi intisari sebuah buku. Dengan demikian, para peresensi tersebut menjadi penguat rajutan pendidikan keadaban masyarakat Indonesia untuk tidak sekadar melek literasi. (*)

*) Artikel di atas adalah Juara 3 Lomba Artikel, Karya Jurnalistik, dan Foto Kemdikbud Tahun 2018, ditulis Muhammad Itsbatun Najih, Kudus, Jawa Tengah, Dimuat di media: Harian Analisa, 18 Mei 2017

Post a Comment

Previous Post Next Post