Berikut ini adalah berkas Dokumen Gerakan Literasi Sekolah. Download file format PDF.
Dokumen Gerakan Literasi Sekolah |
Dokumen Gerakan Literasi Sekolah
Berikut ini kutipan teks/keterangan dari isi salah satu berkas Dokumen Gerakan Literasi Sekolah yaitu buku Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah:
Literasi dasar yang terdiri atas baca tulis, numerasi, sains, digital, finansial, budaya dan kewargaan merupakan bagian dari kecakapan abad XXI. Bersama dengan kompetensi dan karakter, ketiga hal tersebut akan bermuara pada pembelajaran sepanjang hayat.
Dalam konteks internasional, pemahaman membaca tingkat sekolah dasar (kelas IV) diuji oleh Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan (IEA-the International Association for the Evaluation of Educational Achievement) dalam Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan setiap lima tahun (sejak tahun 2001). Selain itu, PIRLS berkolaborasi dengan Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) menguji kemampuan matematika dan sains peserta didik. Pada tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik (selain matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD—Organization for Economic Cooperation and Development) dalam Programme for International Student Assessment (PISA). Sementara itu, dalam konteks nasional, Puspendik Kemendikbud mengembangkan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (Indonesia National Assesment Program – INAP) yang setara dengan PIRLS, untuk menguji siswa SD kelas IV pada 2016. AKSI mengukur kemampuan siswa dalam mata pelajaran membaca, matematika, dan sains.
Sayangnya, hasil PIRLS, AKSI, dan PISA peserta didik Indonesia, khususnya dalam keterampilan memahami bacaan, masih tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa proses pendidikan belum secara maksimal dapat mengembangkan kompetensi dan minat peserta didik terhadap pengetahuan.
Untuk meningkatkan kemampuan membaca peserta didik, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) digulirkan sejak Maret 2016. Akan tetapi, hingga sekarang belum banyak pengaruhnya terhadap hasil belajar karena baru berada pada tahap sosialisasi dan koordinasi.
Program GLS memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Salah satu kegiatan di dalam gerakan tersebut adalah “kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai”. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan peserta didik.
Gerakan Literasi Sekolah
Selain itu, Kegiatan GLS ditujukan bagi pemantapan Kurikulum 2013 bagi semua mata pelajaran dengan menerapkan strategi literasi dalam pembelajaran dengan merujuk pada higher order thinking skills (HOTS, keterampilan bernalar tingkat tinggi), kompetensi abad XXI (kemampuan berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif), dan penguatan pendidikan karakter.
Terobosan penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan. Pelibatan orang tua peserta didik dan masyarakat juga menjadi komponen penting dalam GLS.
Desain Induk ini disusun guna memberi arahan strategis bagi kegiatan literasi di lingkungan satuan pendidikan dasar dan menengah. Pelaksanaan GLS akan melibatkan unit kerja terkait di Kemendikbud dan juga pihak-pihak lain yang peduli terhadap pentingnya literasi. Kerja sama semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan sangat diperlukan untuk melaksanakan gerakan bersama yang terintegrasi dan efektif.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang berhasil mengurangi angka buta huruf. Data United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2014 mencatat bahwa tingkat kemelekhurufan masyarakat Indonesia mencapai 92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8% untuk kategori remaja. Capaian ini sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia telah melewati tahapan krisis literasi dalam pengertian kemelekhurufan.
Tantangan yang masih dihadapi saat ini adalah ketersediaan buku yang belum merata di hampir seluruh wilayah Indonesia serta rendahnya motivasi dan minat baca peserta didik.
Hal ini memprihatinkan karena di era teknologi informasi, peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan membaca dalam pengertian memahami teks secara analitis, kritis, dan reflektif.
Masyarakat global dituntut untuk dapat mengadaptasi kemajuan teknologi dan keterbaruan/kekinian. Hal ini tercantum dalam Deklarasi Praha (Unesco, 2003) yang mencanangkan pentingnya literasi informasi (information literacy), yaitu kemampuan untuk mencari, memahami, mengevaluasi secara kritis, dan mengelola informasi menjadi pengetahuan yang bermanfaat untuk pengembangan kehidupan pribadi dan sosialnya.
Dalam era global ini, literasi informasi menjadi penting. Deklarasi Alexandria pada tahun 2005 menjelaskan bahwa literasi informasi adalah:
“kemampuan untuk melakukan manajemen pengetahuan dan kemampuan untuk belajar terus-menerus. Literasi informasi merupakan kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi dan saat informasi diperlukan, mengidentifikasi dan menemukan lokasi informasi yang diperlukan, mengevaluasi informasi secara kritis, mengorganisasikan dan mengintegrasikan informasi ke dalam pengetahuan yang sudah ada, memanfaatkan serta mengkomunikasikannya secara efektif, legal, dan etis.”
(sebagaimana dirilis dalam www.unesco.org)
Kebutuhan literasi di era global ini menuntut pemerintah untuk menyediakan dan memfasilitasi sistem dan pelayanan pendidikan sesuai dengan UUD 1945, Pasal 31, Ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Ayat ini menegaskan bahwa program literasi juga mencakup upaya mengembangkan potensi kemanusiaan yang mencakup kecerdasan intelektual, emosi, bahasa, estetika, sosial, spiritual, dengan daya adaptasi terhadap perkembangan arus teknologi dan informasi. Upaya ini sejalan dengan falsafah yang dinyatakan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan harus melibatkan semua komponen masyarakat (keluarga, pendidik profesional, pemerintah, dll.) dalam membina, menginspirasi/memberi contoh, memberi semangat, dan mendorong perkembangan anak.
Literasi tidak terpisahkan dari dunia pendidikan. Literasi menjadi sarana peserta didik dalam mengenal, memahami, dan menerapkan ilmu yang didapatkannya di bangku sekolah. Literasi juga terkait dengan kehidupan peserta didik, baik di rumah maupun di lingkungan sekitarnya.
Uji literasi membaca mengukur aspek memahami, menggunakan, dan merefleksikan hasil membaca dalam bentuk tulisan. Dalam PIRLS 2011, Indonesia menduduki peringkat ke-42 dari 45 negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, uji literasi membaca dalam PISA 2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 402 (skor rata-rata OECD 493), Sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke- 64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496) (OECD, 2013). Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012. Posisi Indonesia tetap pada urutan ke-64 pada PISA 2015, dengan peserta terdiri atas 72 negara. Ini berarti ada kenaikan hanya satu angka, dari 396 pada PISA 2012 menjadi 397 pada PISA 2015. Kenaikan ini tidak cukup signifikan ketika penerapan Kurikulum 2013 yang berbasis teks sudah diberlakukan sejak tahun 2013 dan dua tahun kemudian PISA (juga berbasis teks) ditempuh pada 2015.
Pada tahun 2016, Puspendik Kemendikbud dalam program Indonesian National Assessment Program (INAP) atau Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) menguji keterampilan membaca, matematika, dan sains peserta didik SD kelas IV. Khusus dalam membaca, hasilnya adalah 46,83% dalam kategori kurang, 47,11% dalam kategori cukup, dan hanya 6,06% dalam kategori baik.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kemampuan literasi peserta didik Indonesia masih tergolong rendah dan harus ditingkatkan. Permasalahan ini menegaskan bahwa pemerintah memerlukan strategi khusus agar kemampuan membaca peserta didik dapat meningkat dengan mengintegrasikan/menindaklanjuti program sekolah dengan kegiatan dalam keluarga dan masyarakat, yang diwadahi dalam gerakan literasi.
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) telah digulirkan mulai Maret 2016 oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud dengan melakukan sosialisasi dan koordinasi ke semua Dinas Pendidikan Provinsi dan/atau Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten.
GLS dikembangkan berdasarkan sembilan agenda prioritas (Nawacita) yang terkait dengan tugas dan fungsi Kemendikbud, khususnya Nawacita nomor 5, 6, 8, dan 9. Butir Nawacita yang dimaksudkan adalah: (5) meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia; (6) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya; (8) melakukan revolusi karakter bangsa; dan (9) memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Literasi dasar yang terdiri atas baca tulis, numerasi, sains, digital, finansial, budaya dan kewargaan merupakan bagian dari kecakapan abad XXI. Bersama dengan kompetensi dan karakter, ketiga hal tersebut akan bermuara pada pembelajaran sepanjang hayat.
Dalam konteks internasional, pemahaman membaca tingkat sekolah dasar (kelas IV) diuji oleh Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan (IEA-the International Association for the Evaluation of Educational Achievement) dalam Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan setiap lima tahun (sejak tahun 2001). Selain itu, PIRLS berkolaborasi dengan Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) menguji kemampuan matematika dan sains peserta didik. Pada tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik (selain matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD—Organization for Economic Cooperation and Development) dalam Programme for International Student Assessment (PISA). Sementara itu, dalam konteks nasional, Puspendik Kemendikbud mengembangkan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (Indonesia National Assesment Program – INAP) yang setara dengan PIRLS, untuk menguji siswa SD kelas IV pada 2016. AKSI mengukur kemampuan siswa dalam mata pelajaran membaca, matematika, dan sains.
Sayangnya, hasil PIRLS, AKSI, dan PISA peserta didik Indonesia, khususnya dalam keterampilan memahami bacaan, masih tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa proses pendidikan belum secara maksimal dapat mengembangkan kompetensi dan minat peserta didik terhadap pengetahuan.
Untuk meningkatkan kemampuan membaca peserta didik, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) digulirkan sejak Maret 2016. Akan tetapi, hingga sekarang belum banyak pengaruhnya terhadap hasil belajar karena baru berada pada tahap sosialisasi dan koordinasi.
Program GLS memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Salah satu kegiatan di dalam gerakan tersebut adalah “kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai”. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan peserta didik.
Gerakan Literasi Sekolah
Selain itu, Kegiatan GLS ditujukan bagi pemantapan Kurikulum 2013 bagi semua mata pelajaran dengan menerapkan strategi literasi dalam pembelajaran dengan merujuk pada higher order thinking skills (HOTS, keterampilan bernalar tingkat tinggi), kompetensi abad XXI (kemampuan berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif), dan penguatan pendidikan karakter.
Terobosan penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan. Pelibatan orang tua peserta didik dan masyarakat juga menjadi komponen penting dalam GLS.
Desain Induk ini disusun guna memberi arahan strategis bagi kegiatan literasi di lingkungan satuan pendidikan dasar dan menengah. Pelaksanaan GLS akan melibatkan unit kerja terkait di Kemendikbud dan juga pihak-pihak lain yang peduli terhadap pentingnya literasi. Kerja sama semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan sangat diperlukan untuk melaksanakan gerakan bersama yang terintegrasi dan efektif.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang berhasil mengurangi angka buta huruf. Data United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2014 mencatat bahwa tingkat kemelekhurufan masyarakat Indonesia mencapai 92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8% untuk kategori remaja. Capaian ini sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia telah melewati tahapan krisis literasi dalam pengertian kemelekhurufan.
Tantangan yang masih dihadapi saat ini adalah ketersediaan buku yang belum merata di hampir seluruh wilayah Indonesia serta rendahnya motivasi dan minat baca peserta didik.
Hal ini memprihatinkan karena di era teknologi informasi, peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan membaca dalam pengertian memahami teks secara analitis, kritis, dan reflektif.
Masyarakat global dituntut untuk dapat mengadaptasi kemajuan teknologi dan keterbaruan/kekinian. Hal ini tercantum dalam Deklarasi Praha (Unesco, 2003) yang mencanangkan pentingnya literasi informasi (information literacy), yaitu kemampuan untuk mencari, memahami, mengevaluasi secara kritis, dan mengelola informasi menjadi pengetahuan yang bermanfaat untuk pengembangan kehidupan pribadi dan sosialnya.
Dalam era global ini, literasi informasi menjadi penting. Deklarasi Alexandria pada tahun 2005 menjelaskan bahwa literasi informasi adalah:
“kemampuan untuk melakukan manajemen pengetahuan dan kemampuan untuk belajar terus-menerus. Literasi informasi merupakan kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi dan saat informasi diperlukan, mengidentifikasi dan menemukan lokasi informasi yang diperlukan, mengevaluasi informasi secara kritis, mengorganisasikan dan mengintegrasikan informasi ke dalam pengetahuan yang sudah ada, memanfaatkan serta mengkomunikasikannya secara efektif, legal, dan etis.”
(sebagaimana dirilis dalam www.unesco.org)
Kebutuhan literasi di era global ini menuntut pemerintah untuk menyediakan dan memfasilitasi sistem dan pelayanan pendidikan sesuai dengan UUD 1945, Pasal 31, Ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Ayat ini menegaskan bahwa program literasi juga mencakup upaya mengembangkan potensi kemanusiaan yang mencakup kecerdasan intelektual, emosi, bahasa, estetika, sosial, spiritual, dengan daya adaptasi terhadap perkembangan arus teknologi dan informasi. Upaya ini sejalan dengan falsafah yang dinyatakan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan harus melibatkan semua komponen masyarakat (keluarga, pendidik profesional, pemerintah, dll.) dalam membina, menginspirasi/memberi contoh, memberi semangat, dan mendorong perkembangan anak.
Literasi tidak terpisahkan dari dunia pendidikan. Literasi menjadi sarana peserta didik dalam mengenal, memahami, dan menerapkan ilmu yang didapatkannya di bangku sekolah. Literasi juga terkait dengan kehidupan peserta didik, baik di rumah maupun di lingkungan sekitarnya.
Uji literasi membaca mengukur aspek memahami, menggunakan, dan merefleksikan hasil membaca dalam bentuk tulisan. Dalam PIRLS 2011, Indonesia menduduki peringkat ke-42 dari 45 negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, uji literasi membaca dalam PISA 2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 402 (skor rata-rata OECD 493), Sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke- 64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496) (OECD, 2013). Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012. Posisi Indonesia tetap pada urutan ke-64 pada PISA 2015, dengan peserta terdiri atas 72 negara. Ini berarti ada kenaikan hanya satu angka, dari 396 pada PISA 2012 menjadi 397 pada PISA 2015. Kenaikan ini tidak cukup signifikan ketika penerapan Kurikulum 2013 yang berbasis teks sudah diberlakukan sejak tahun 2013 dan dua tahun kemudian PISA (juga berbasis teks) ditempuh pada 2015.
Pada tahun 2016, Puspendik Kemendikbud dalam program Indonesian National Assessment Program (INAP) atau Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) menguji keterampilan membaca, matematika, dan sains peserta didik SD kelas IV. Khusus dalam membaca, hasilnya adalah 46,83% dalam kategori kurang, 47,11% dalam kategori cukup, dan hanya 6,06% dalam kategori baik.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kemampuan literasi peserta didik Indonesia masih tergolong rendah dan harus ditingkatkan. Permasalahan ini menegaskan bahwa pemerintah memerlukan strategi khusus agar kemampuan membaca peserta didik dapat meningkat dengan mengintegrasikan/menindaklanjuti program sekolah dengan kegiatan dalam keluarga dan masyarakat, yang diwadahi dalam gerakan literasi.
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) telah digulirkan mulai Maret 2016 oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud dengan melakukan sosialisasi dan koordinasi ke semua Dinas Pendidikan Provinsi dan/atau Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten.
GLS dikembangkan berdasarkan sembilan agenda prioritas (Nawacita) yang terkait dengan tugas dan fungsi Kemendikbud, khususnya Nawacita nomor 5, 6, 8, dan 9. Butir Nawacita yang dimaksudkan adalah: (5) meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia; (6) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya; (8) melakukan revolusi karakter bangsa; dan (9) memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Empat butir Nawacita tersebut terkait erat dengan komponen literasi sebagai modal pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, produktif dan berdaya saing, berkarakter, serta nasionalis. Untuk dapat mengembangkan Nawacita, diperlukan pengembangan strategi pelaksanaan literasi di sekolah yang berdampak menyeluruh dan sistemik. Dalam hal ini, sekolah:
a) sebaiknya tumbuh sebagai sebuah organisasi yang mengembangkan warganya sebagai individu pembelajar;
b) perlu memiliki struktur kepemimpinan yang juga terkait dengan lembaga lain di atasnya, serta sumber daya yang meliputi sumber daya manusia, keuangan, serta sarana dan prasarana; dan
c) memberikan layanan pendidikan dalam bentuk pembelajaran di dalam kelas dan berbagai kegiatan lain di luar kelas yang menunjang pembelajaran dan tujuan pendidikan.
Dengan memperhatikan karakteristik sekolah sebagai sebuah organisasi akan mempermudah pelaksana program untuk mengidentifikasi sasaran agar perlakuan dapat diberikan secara menyeluruh sehingga kemampuan membaca akan meningkat.
Akan tetapi, saat ini hasil kemampuan membaca masih belum menggembirakan karena pelaksanaan GLS masih dalam tahap awal. Oleh sebab itu, beragam kegiatan dalam GLS perlu dilanjutkan dan ditingkatkan guna mencapai hasil yang lebih baik. Dukungan berbagai pihak sangat diharapkan.
B. Landasan Filosofi dan Landasan Hukum
1. Landasan Filosofi
Sumpah Pemuda butir ketiga (3) menyatakan, “menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia“ yang memiliki makna pengakuan terhadap keberadaan ratusan bahasa daerah yang memiliki hak hidup dan peluang penggunaan bahasa asing sesuai dengan keperluannya. Butir ini menegaskan pentingnya pembelajaran berbahasa dalam pendidikan nasional. Berikut ini konvensi terkait literasi
A. Konvensi PBB tentang Hak Anak pada tahun 1989 tentang pentingnya penggunaan bahasa ibu. Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa, khususnya mikrokultur-mikrokultur tertentu perlu difasilitasi dengan bahasa ibu saat mereka memasuki pendidikan dasar kelas rendah (kelas I, II, III).
B. Konvensi PBB di Praha tahun 2003 tentang kecakapan literasi dasar dan kecakapan perpustakaan yang efektif merupakan kunci bagi masyarakat yang literat dalam menghadapi derasnya arus informasi teknologi. Lima komponen esensial literasi informasi adalah basic literacy, library literacy, media literacy, technology literacy, dan visual literacy.
2. Landasan Hukum
a. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat 3: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah.
h. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA).
i. Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
j. Permendikbud Nomor 12 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Permendikbud Nomor 22 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2015-2019.
k. Permendikbud Nomor 23 Tahun 2013 tentang Perubahan Permendikbud No. 15 Tahun 2010 tentang SPM Dikdas di Kabupaten/Kota.
l. Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Gerakan Pembudayaan Karakter di Sekolah.
m. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.
n. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
o. Permendikbud Nomor 26 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 8 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah
C. Tujuan
1. menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran berbudaya literasi.
2. membentuk warga sekolah yang literat dalam hal:
a. baca tulis,
a. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat 3: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah.
h. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA).
i. Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
j. Permendikbud Nomor 12 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Permendikbud Nomor 22 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2015-2019.
k. Permendikbud Nomor 23 Tahun 2013 tentang Perubahan Permendikbud No. 15 Tahun 2010 tentang SPM Dikdas di Kabupaten/Kota.
l. Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Gerakan Pembudayaan Karakter di Sekolah.
m. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.
n. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
o. Permendikbud Nomor 26 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 8 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah
C. Tujuan
1. menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran berbudaya literasi.
2. membentuk warga sekolah yang literat dalam hal:
a. baca tulis,
b. numerasi,
c. sains,
d. digital,
e. finansial,
f. budaya dan kewargaan.
D. Sasaran
Sasaran gerakan literasi sekolah adalah ekosistem sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
BAB 2
KONSEP DASAR
A. Literasi
Kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Namun, Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003). Deklarasi UNESCO itu juga menyebutkan bahwa literasi informasi terkait pula dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi berbagai persoalan. Kemampuan-kemampuan tersebut perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan itu bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.
Dari sisi istilah, kata “literasi” berasal dari bahasa Latin litteratus (littera), yang setara dengan kata letter dalam bahasa Inggris yang merujuk pada makna ‘kemampuan membaca dan menulis’. Adapun literasi dimaknai ‘kemampuan membaca dan menulis’ yang kemudian berkembang menjadi ‘kemampuan menguasai pengetahuan bidang tertentu’.
Untuk merujuk pada orang yang mempunyai kemampuan tersebut digunakan istilah literet (dari literate) yang dapat dimaknai ‘berpendidikan, berpendidikan baik, membaca baik, sarjana, terpelajar, bersekolah, berpengetahuan, intelektual, intelijen, terpelajar, terdidik, berbudaya, kaya informasi, canggih’.
Di Indonesia, pada awalnya literasi dimaknai 'keberaksaraan' dan selanjutnya dimaknai 'melek' atau 'keterpahaman'. Pada langkah awal, “melek baca dan tulis" ditekankan karena kedua keterampilan berbahasa ini merupakan dasar bagi pengembangan melek dalam berbagai hal. Pemahaman literasi pada akhirnya tidak hanya merambah pada masalah baca tulis saja, bahkan sampai pada tahap multiliterasi.
Dalam Undang-Undang No 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan literasi dimaknai sebagai “ kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya.”
Menurut Word Economic Forum (2016), peserta didik memerlukan 16 keterampilan agar mampu bertahan di abad XXI, yakni fondasi literasi atau literasi dasar (bagaimana peserta didik menerapkan keterampilan berliterasi untuk kehidupan sehari-hari), kompetensi (bagaimana peserta didik menyikapi tantangan yang kompleks), dan karakter (bagaimana peserta didik menyikapi perubahan lingkungan mereka). Berikut adalah Tabel 2.1 yang memaparkan kecakapan abad XXI tersebut.
1 Multiliterasi dimaknai sebagai keterampilan menggunakan beragam cara untuk menyatakan dan memahami ide-ide dan informasi dengan menggunakan bentuk-bentuk teks konvensional maupun bentuk-bentuk teks inovatif, simbol, dan multimedia (Abidin, 2015).
Selain fondasi literasi atau literasi dasar, ada juga tiga literasi lainnya yang perlu dikuasai oleh peserta didik, yakni literasi kesehatan, keselamatan (jalan, mitigasi bencana), dan kriminal (bagi siswa SD disebut “sekolah aman”) (Wiedarti, Mei 2016).
Berdasarkan uraian tersebut, istilah literasi merupakan sesuatu yang terus berkembang dan berproses yang berporos pada pemahaman terhadap teks dan konteksnya sebab manusia berurusan dengan teks sejak dilahirkan, masa kehidupan, hingga kematian. Keterpahaman terhadap beragam teks akan membantu keterpahaman kehidupan dan berbagai aspeknya karena teks merupakan representasi dari kehidupan individu dan masyarakat dalam budaya masing-masing.
Dalam konteks GLS, literasi dimaknai tidak hanya sekadar pengetahuan dan kecakapan (1) baca tulis, namun juga mencakup (2) numerasi, (3) sains, (4) digital, (5) finansial, (6) budaya dan kewargaan yang bermuara pada perilaku yang berterima dalam kehidupan sehari-hari.
Saat ini kegiatan di sekolah ditengarai belum optimal mengembangkan kemampuan literasi warga sekolah, khususnya guru dan siswa. Hal ini disebabkan antara lain oleh kurangnya pemahaman warga sekolah terhadap pentingnya kemampuan berliterasi dalam kehidupan mereka serta minimnya penggunaan buku-buku di sekolah selain buku-teks pelajaran. Biarpun buku siswa atau buku teks pelajaran juga termasuk dalam bagian literasi, akan tetapi kegiatan membaca di sekolah tampaknya masih terbatas pada membaca buku teks pelajaran, belum meluas pada buku-buku nonteks pelajaran.
B. Gerakan Literasi Sekolah
d. digital,
e. finansial,
f. budaya dan kewargaan.
D. Sasaran
Sasaran gerakan literasi sekolah adalah ekosistem sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
BAB 2
KONSEP DASAR
A. Literasi
Kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Namun, Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003). Deklarasi UNESCO itu juga menyebutkan bahwa literasi informasi terkait pula dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi berbagai persoalan. Kemampuan-kemampuan tersebut perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan itu bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.
Dari sisi istilah, kata “literasi” berasal dari bahasa Latin litteratus (littera), yang setara dengan kata letter dalam bahasa Inggris yang merujuk pada makna ‘kemampuan membaca dan menulis’. Adapun literasi dimaknai ‘kemampuan membaca dan menulis’ yang kemudian berkembang menjadi ‘kemampuan menguasai pengetahuan bidang tertentu’.
Untuk merujuk pada orang yang mempunyai kemampuan tersebut digunakan istilah literet (dari literate) yang dapat dimaknai ‘berpendidikan, berpendidikan baik, membaca baik, sarjana, terpelajar, bersekolah, berpengetahuan, intelektual, intelijen, terpelajar, terdidik, berbudaya, kaya informasi, canggih’.
Di Indonesia, pada awalnya literasi dimaknai 'keberaksaraan' dan selanjutnya dimaknai 'melek' atau 'keterpahaman'. Pada langkah awal, “melek baca dan tulis" ditekankan karena kedua keterampilan berbahasa ini merupakan dasar bagi pengembangan melek dalam berbagai hal. Pemahaman literasi pada akhirnya tidak hanya merambah pada masalah baca tulis saja, bahkan sampai pada tahap multiliterasi.
Dalam Undang-Undang No 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan literasi dimaknai sebagai “ kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya.”
Menurut Word Economic Forum (2016), peserta didik memerlukan 16 keterampilan agar mampu bertahan di abad XXI, yakni fondasi literasi atau literasi dasar (bagaimana peserta didik menerapkan keterampilan berliterasi untuk kehidupan sehari-hari), kompetensi (bagaimana peserta didik menyikapi tantangan yang kompleks), dan karakter (bagaimana peserta didik menyikapi perubahan lingkungan mereka). Berikut adalah Tabel 2.1 yang memaparkan kecakapan abad XXI tersebut.
1 Multiliterasi dimaknai sebagai keterampilan menggunakan beragam cara untuk menyatakan dan memahami ide-ide dan informasi dengan menggunakan bentuk-bentuk teks konvensional maupun bentuk-bentuk teks inovatif, simbol, dan multimedia (Abidin, 2015).
Selain fondasi literasi atau literasi dasar, ada juga tiga literasi lainnya yang perlu dikuasai oleh peserta didik, yakni literasi kesehatan, keselamatan (jalan, mitigasi bencana), dan kriminal (bagi siswa SD disebut “sekolah aman”) (Wiedarti, Mei 2016).
Berdasarkan uraian tersebut, istilah literasi merupakan sesuatu yang terus berkembang dan berproses yang berporos pada pemahaman terhadap teks dan konteksnya sebab manusia berurusan dengan teks sejak dilahirkan, masa kehidupan, hingga kematian. Keterpahaman terhadap beragam teks akan membantu keterpahaman kehidupan dan berbagai aspeknya karena teks merupakan representasi dari kehidupan individu dan masyarakat dalam budaya masing-masing.
Dalam konteks GLS, literasi dimaknai tidak hanya sekadar pengetahuan dan kecakapan (1) baca tulis, namun juga mencakup (2) numerasi, (3) sains, (4) digital, (5) finansial, (6) budaya dan kewargaan yang bermuara pada perilaku yang berterima dalam kehidupan sehari-hari.
Saat ini kegiatan di sekolah ditengarai belum optimal mengembangkan kemampuan literasi warga sekolah, khususnya guru dan siswa. Hal ini disebabkan antara lain oleh kurangnya pemahaman warga sekolah terhadap pentingnya kemampuan berliterasi dalam kehidupan mereka serta minimnya penggunaan buku-buku di sekolah selain buku-teks pelajaran. Biarpun buku siswa atau buku teks pelajaran juga termasuk dalam bagian literasi, akan tetapi kegiatan membaca di sekolah tampaknya masih terbatas pada membaca buku teks pelajaran, belum meluas pada buku-buku nonteks pelajaran.
B. Gerakan Literasi Sekolah
GLS merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, Komite Sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dll.), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
GLS adalah gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Salah satunya yang ditempuh untuk mewujudkan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat adalah pembiasaan membaca peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca (guru membacakan buku dan/atau siswa dan guru membaca dalam hati, yang disesuaikan dengan konteks atau target sekolah).
C. Komponen Literasi
Literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Di abad ke-21 ini, kemampuan ini disebut sebagai literasi informasi.
GLS adalah gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Salah satunya yang ditempuh untuk mewujudkan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat adalah pembiasaan membaca peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca (guru membacakan buku dan/atau siswa dan guru membaca dalam hati, yang disesuaikan dengan konteks atau target sekolah).
C. Komponen Literasi
Literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Di abad ke-21 ini, kemampuan ini disebut sebagai literasi informasi.
Clay (2001) dan Ferguson (www.bibliotech.us/ pdfs/InfoLit.pdf) menjabarkan bahwa komponen literasi informasi terdiri atas literasi dini, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual.
Ketika pembiasaan membaca terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke kegiatan pengembangan, dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum 2013). Variasi kegiatan dapat berupa perpaduan pengembangan keterampilan reseptif maupun produktif.
Dalam pelaksanaannya, pada periode tertentu yang terjadwal, dilakukan asesmen agar dampak keberadaan GLS dapat diketahui dan terus-menerus dikembangkan.
GLS diharapkan mampu menggerakkan warga sekolah, pemangku kepentingan, dan masyarakat untuk bersama-sama memiliki, melaksanakan, dan menjadikan gerakan ini sebagai bagian penting dalam kehidupan yang warganya literat sepanjang hayat.
Dalam konteks Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap selanjutnya.
Dalam konteks Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi. Kelima komponen literasi di atas perlu didahului dengan pengembangan literasi usia dini (White, 2005).
Ketika pembiasaan membaca terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke kegiatan pengembangan, dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum 2013). Variasi kegiatan dapat berupa perpaduan pengembangan keterampilan reseptif maupun produktif.
Dalam pelaksanaannya, pada periode tertentu yang terjadwal, dilakukan asesmen agar dampak keberadaan GLS dapat diketahui dan terus-menerus dikembangkan.
GLS diharapkan mampu menggerakkan warga sekolah, pemangku kepentingan, dan masyarakat untuk bersama-sama memiliki, melaksanakan, dan menjadikan gerakan ini sebagai bagian penting dalam kehidupan yang warganya literat sepanjang hayat.
Dalam konteks Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap selanjutnya.
Dalam konteks Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi. Kelima komponen literasi di atas perlu didahului dengan pengembangan literasi usia dini (White, 2005).
Download Dokumen Gerakan Literasi Sekolah
Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas Dokumen Gerakan Literasi Sekolah ini silahkan lihat preview salah satu berkas dan unduh berkas file lainnya pada link di bawah ini:Download File:
Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah Edisi 2.pdf
Konsep Pendampingan Literasi.pdf
Seri Manual GLS Pentingnya Memahami Gaya Belajar.pdf
Seri Manual GLS Variasi Kegiatan Lima Belas Menit Membaca di Sekolah.pdf
Seri Manual GLS Menumbuhkan Budaya Literasi di Rumah.pdf
Seri Manual GLS Menulis untuk Kesenangan.pdf
Seri Manual GLS Menumbuhkan Kepekaan Budaya Lokal di SD.pdf
Seri Manual GLS Mengembangkan Jejaring dan Kolaborasi Literasi.pdf
Seri Manual GLS Membaca Untuk Kesenangan.pdf
Seri Manual GLS Literasi Visual dalam Pengembangan Budaya Literasi di Sekolah.pdf
Seri Manual GLS Literasi Numerasi dalam Pengembangan Klub STEAM dan Wirausaha di Sekolah.pdf
Seri Manual GLS Literasi dalam Pembelajaran Berbasis Proyek untuk Meningkatkan Kecakapan Abad XXI.pdf
Seri Manual GLS Literasi Berimbang.pdf
Seri Manual GLS Guru sebagai Teladan Literasi.pdf
Seri GLS - Suduik Minang di SMKN 2 Pariaman.pdf
SERI GLS - Penuh Warna Untuk Nyaman Membaca.pdf
Seri GLS - Menikmati Insfrastruktur Sekolah Dalam Kegiatan Literasi SMKN 1 Beringin.pdf
Seri GLS - Memilih Yang Nyaman Berliterasi.pdf
SERI GLS - Literasi Finansial dengan Sarana Digital.pdf
Seri GLS - Goling Aplikasi Ojek untuk Literasi SMKN 3 Metro.pdf
SE tentang Pelaksanaan Pendidikan Literasi Sekolah di Daerah.pdf
SE Dirjen Dikdasmen ttg Pembentukan Satgas GLS Provinsi-Kabupaten-Kota.pdf
Prosedur Operasional Standar Sarasehan Literasi Sekolah.pdf
Literasi Numerasi.pdf
Literasi Sains.pdf
Literasi Numerasi dan Finansial di Greenhouse SMK Negeri 3 Bandung.pdf
Literasi Keuangan.pdf
Literasi Digital.pdf
Literasi Budaya dan Kewargaan.pdf
Literasi Bahasa dan Sastra.pdf
Lingkungan Kaya Literasi SMK Negeri 27.pdf
Buku Bunga Rampai GLS.pdf
Area baca SMK Negeri 1 Kendari.pdf
Area baca di SMK Negeri 3 Bogor.pdf
Sumber:
Subdit Kurikulum | Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan |
https://ift.tt/2xeoScC
Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai keterangan berkas dan share file Dokumen Gerakan Literasi Sekolah. Semoga bisa bermanfaat.
from Berkas Edukasi https://ift.tt/2pLtSHx
via IFTTT
إرسال تعليق