Sistem Zonasi Sekolah di Jepang
Sistem Zonasi Sekolah di Jepang
Sistem Zonasi Sekolah yang diterapkan oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini sesungguhnya adalah itikad baik pemerintah untuk pendidikan yang berkeadilan. Pemerintah ingin agar tak ada lagi sekolah favorit nonfavorit.

Bahwa semua sekolah harus favorit, apalagi sekolah negeri yang memproduksi layanan publik harus memiliki tiga aspek, non rivalry (tak boleh dikompetisikan berlebihan), non excludable (tidak boleh khusus hanya bagi kelompok tertentu), dan non discrimination (tak boleh ada praktek diskriminasi).

Masalahnya, mengapa itikad baik pemerintah melalui kemendikbud itu justru diprotes, bahkan ditentang oleh orang tua/wali murid?

Pada postingan sebelumnya, artikel yang ditulis oleh Robbi Gandamana mungkin bisa mewakili pihak-pihak yang protes dengan sistem zonasi yang diterapkan sekarang. Kata Bang Robbi, sistem zonasi itu sebenarnya bagus, bahkan kalimatnya agak "nakal" dengan menyebut pemerintah sekarang sebenarnya agak cerdas dengan kebijakan zonasi yang bertujuan menghapus sekolah negeri favorit atau unggulan.  
baca: Gonjang Ganjing Sistem Zonasi Sekolah: Antara Sekolah Oke Punya dan Sekolah Kumuh Jaya
Masalahnya, kebijakan itu terlalu prematur kalau diterapkan saat ini. Yang dirotasi hanya guru dan kepala sekolah, tapi sarana prasana sekolah masih belum merata. Memang, sarana prasarana sekolah negeri di tengah kota dan pinggiran kota masih sangat jauh berbeda.

"Ya'opo se rek, standarisasi belum beres, tapi kebijakan sudah diterapkan. Sebelum kebijakan zonasi diterapkan, favoritkan dulu semua sekolah negeri di Indonesia. Sekolah negeri di tengah kota itu sarana dan prasarananya oke punya. Sedang sekolah negeri pinggiran kota, kondisinya kumuh jaya. Tentu saja orang tua calon murid yang rumahnya dekat sekolah negeri kumuh pecas ndahe. Nggak tega hati melihat buah hatinya hanya diterima di Sekolah Negeri cap Kandang Kambing," begitu kelakarnya.

Sistem Zonasi Ala Jepang

Gonjang ganjing masalah sistem zonasi ini juga menarik perhatian Yesi Elsandra, pemilik blog https://www.yesielsandra.com. Melalui akun facebooknya, Yesi Elsandra yang sehari-harinya tinggal di Kanazawa, Jepang. Karena tinggal di Jepang, ia lantas menceritakan pengalamannya bersentuhan dengan sistem pendidikan di Jepang.

Menurutnya, Jepang adalah salah satu negara terbaik yang menerapkan sistem zonasi. Tidak ada kehebohan berarti yang terjadi pada orang tua menjelang tahun ajaran baru, karena semua anak akan diterima di sekolah negeri yang terdekat rumahnya. Tidak ada anak dan orang tua yang gigit jari karena tidak kebagian kursi sekolah.

Sistem Informasi Kependudukan di Jepang memang sudah berjalan dengan sangat baik. Setiap penduduk, baik penduduk asli maupun pendatang akan terdata seluruh identitasnya, termasuk penghasilannya. Maka ketika anaknya berusia 6 tahun pada 2017 dan telah tiba waktunya sekolah, Yesi dikejutkan dengan kedatangan surat dari pos yang ditujukan kepada anaknya, bukan namanya selaku orang tuanya.

Surat tersebut berisi informasi bahwa tahun ajaran 2017, anaknya harus bersekolah di SD Negeri Morinosato, yang berjarak kurang lebih 300 meter dari apartemen tempat tinggal mereka. Ketika datang ke sekolah yang dimaksud, pihak sekolah juga sudah memgetahui kehadiran Yesi dan anaknya, karena terlebih dahulu sudah mendapatkan pemberitahuan dari pemerintah.

Berbeda dengan di Indonesia, wajib belajar di Jepang adalah 9 tahun, yaitu 6 tahun di SD dan 3 tahun SMP. Mengapa sistem zonasi di Jepang tidak mengalami gejolak dan penolakan dari masyarakatnya, tidak sebagaimana terjadi di Indonesia? Berikut ini adalah beberapa alasan yang dituliskan oleh Yesi Elsandra:

1. Standar kualitas semua sekolah sama.
Di Jepang, bukan hanya proses belajar mengajar yang dibuat sama standarnya, tetapi fasilitas fisik gedungpun dibuat sama. Misalnya, semua sekolah memiliki lapangan olah raga yang sama ukurannya, semua memiliki kolam renang, semua memiliki gedung serba guna, loker sepatu, loker tas, meja, dan kursi belajar sama, papan tulis magnetik sama, toilet yang sama baiknya, dan sebagainya.

Bahkan soal ulanganpun semua dibuat sama dengan kertas HVS 80 gram full warna. Anak-anak tertarik dengan gambar yang berwarna. Di Jepang, jarang sekali ada soal penilaian berupa multiple choice. Jika melihat fasilitas fisik gedungnya dan juga fasilitas belajar mengajarnya, maka tidak salah jika Jepang menjadi negara maju karena kualitas pendidikan sangat diprioritaskan oleh pemerintahnya.

2. Guru dirolling.
Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana profesionalnya guru mengajar dan bertanggung jawab terhadap tugasnya. Bahan ajarnya banyak, retorika mengajarnya tidak membosankan, dan mereka kadang bekerja hingga malam untuk mempersiapkan keperluan proses belajar mengajar.

Seluruh guru memiliki kompetensi mengajar sehingga bisa dikatakan tidak ada guru yang bekerja asal-asalan. Para guru dan juga kepala sekolah dirolling ke semua sekolah. Jadi, tidak ada ceritanya di Jepang, guru di sekolah sini bagus sedangkan di sekolah sana tidak bagus.

3. Infrastruktur sangat mendukung.
Orang tua tidak akan cemas melepas anaknya yang baru berusia 6 tahun berjalan kaki sejauh 1-2 km ke sekolah, karena tersedia jalan khusus untuk pejalan kaki. Jika ada penyebrangan, ada lampu merah yang berfungsi dengan baik dan ditaati seluruh pengendara.

4. Proses pembelajaran sama di seluruh sekolah.
Mulai dari Nyugaku Shiki (penyambutan murid baru), sampai acara Sotsugyo Shiki (upacara kelulusan siswa kelas 6) semua sama prosesinya di seluruh sekolah. Termasuk kegiatan seperti Ensoku (karya wisata), Undokai (semacam pekan olah raga), Jugyo Sankan (semacam open class), Gasshuku (kelas 6 menginap di luar kota selama 2 malam), termasuk aktifitas rutin lain seperti Asanokai (apel pagi), Owarino Kai (apel sore), Soji (kegiatan bersih-bersih sekolah).

Jam masuk dan jam keluar juga semua sama, tidak ada pelajaran tambahan (les) dari guru di luar jam pelajaran. Seluruh sekolah siswanya setiap hari makan siang dan mendapat satu kotak susu segar di sekolah. Sepertinya kegiatan PBM sudah baku sama semuanya sesuai kurikulum yang berlaku.

5. Komite sekolah, volunteer dan masyarakat peduli terhadap pendidikan
Setiap pagi dan sore hari biasanya di perempatan akan ada volunteer yang memakai jaket kuning membantu anak-anak menyeberang dan menjaganya. Para pengendara bermotor juga sangat menjaga dan mendahulukan anak sekolah yang menyeberang. Jadi stakeholder mendukung penuh sistem zonasi ini.

6. Wajib belajar artinya wajib terima semua siswa.
Karena program wajib belajar 9 tahun, artinya pemerintah wajib menerima seluruh calon siswa SD dan SMP bagaimanapun kondisinya. Makanya tidak heran, anak yang berkebutuhan khususpun diterima di sekolah negeri. Pemerintah menyediakan guru khusus untuk mereka. Karena pemerintah wajib menerima semua calon siswa maka jumlah demand dan supply diperhatikan. Tidak ada anak yang tidak kebagian bangku sekolah.

Tak Ada Sekolah Favorit

Yesi menceritakan pengalamannya ketika pindah ke Jepang dan memasukkan anaknya ke sebuah sekolah. Waktu itu, anaknya yang paling besar kelas 4 SD dan adiknya kelas 3 SD. Sekolah yang dituju menerimanya tanpa syarat apapun, tidak ribet, tidak diminta surat pindah, begitu juga nilai raport sama sekali tidak ditanya. Ia hanya diminta untuk mengisi formulir.

Ketika anaknya yang paling besar lulus SD. Tidak ada syarat akademik apapun untuk diterima di SMP, tidak ribet dan tidak menguras emosi. Anak kelas 6 SD di Jepang sama sekali tidak tertekan untuk mempersiapkan UN. Baru ketika memasuki SMA, para siswa harus bersaing ketat. Biayanyapun sudah tidak gratis lagi karena sudah tidak termasuk kategori wajib belajar.

Dengan kualitas yang sama seperti ini, serta tidak ada labelisasi pada sekolah tertentu, maka di Jepang tidak ada sekolah favorit, sekolah terakreditasi A, sekolah model, sekolah percontohan, sekolah bertaraf internasional, dan lain-lain. Semua sekolah sama standar mutunya. Orang tua dan siswa tidak ada yang minder atau jumawa jika anaknya sekolah di sekolah tertentu.

Yang patut digarisbawahi, sistem ini berhasil di Jepang karena pemerintah sudah mempersiapkan semuanya dengan baik. Seluruh infrastruktur sekolah dan sumber daya terintegrasi dengan sangat baik. Dan sistem ini hanya berlaku bagi SD dan SMP yang masuk kategori wajib belajar.

Jika kemudian Pemerintah Indonesia mencoba untuk menduplikasi sistem zonasi ala Jepang ini. Tentu itu sebuah semangat yang sangat baik dan patut didukung untuk menghapus image sekolah favorit. 

Pertanyaannya, apakah kita sudah memiliki infrastruktur sekolah dan sumber daya manusia yang memadai? Antara demand dan supply apakah sudah seimbang? Kata Yesi, teman teman di tanah air saat ini tentu lebih bisa menjawabnya.(*)

Post a Comment

Previous Post Next Post