Mengajarkan adab bertamu pada anak
Ilustrasi: Mengajarkan adab bertamu pada anak.
Lebaran merupakan momen menyambung persaudaraan dan silaturahmi. Setahun sekali, sesudah didera aktifitas kerja yang menguras tenaga dan pikiran, idul fitri adalah saat-saat dimana saudara, sanak kerabat, handai taulan, dan para sahabat saling kunjung mengunjungi agar kerekatan hubungan senantiasa terjaga.

Tradisi tersebut bukan hanya penting, bahkan wajib dilakukan, terutama mengenalkan anak pada asal usulnya, pada ketersambungan nasab keluarganya, pada tradisi silaturahmi yang kian hari kian terkikis oleh budaya milenial, oleh melesatnya ragam perjumpaan maya melalui whatsapp, instagram, facebook, serta sarana medsos lainnya. Hari ini, betapa anak-anak kita banyak yang "kepaten obor" akibat minimnya tradisi muwajjah dengan sanak familinya.

Dalam tradisi anjangsana itulah, menjadi hal penting bagi orang tua agar memberikan pembelajaran bagi anak-anaknya, terutama bagi keluarga yang ketika bertamu membawa anak-anaknya yang masih kecil, baik ketika di rumah saudara, kerabat, terutama di rumah orang lain, agar anak mengerti tata krama, tahu unggah ungguh, walau soal remeh temeh semisal hidangan.

Tulisan ini diambil dari sebuah akun facebook milik @fitria wilis. Meski ada yang tidak sependapat, tulisan ini mungkin bisa dijadikan bahan pembelajaran bagi orang tua dengan anak-anak kecil yang bertamu ke rumah orang lain. 

Selamat Membaca!

Pada suatu hari, karena macet, kami memutar balik perjalanan. Lalu tanpa sengaja, kami melewati rumah seorang teman lama suami. Dia pun meminta kami untuk mampir.

Kami serombongan dengan empat orang anak, menuju ruang tamunya yang mungil dan bersih. Di ruang tamu, kami dapati ada tamu yang juga baru saja datang. Sebuah keluarga dengan seorang anak usia tujuh tahunan. Badannya bongsor. Si anak dengan begitu saja mengambil toples kue nastar di atas meja, membukanya, membawa toples ke pangkuannya, lalu asyik makan dengan lahapnya. Nastar itu terlihat "mahal", bentuknya seperti buah jambu, cantik banget.

Hampir setengah isi toples telah berpindah ke perut si anak. Sang Ayah sibuk mengobrol dengan tuan rumah. Sedang sang ibu sibuk dengan HP. Aku memilih mengajak anak-anak ke teras luar yang adem. Aku takut menjadi 'tertuduh' terlibat menghabiskan satu toples kue mahal. hehe...

Nyonya rumah dengan santun berkata, "Namanya siapa, Sayang? Toplesnya taruh sini saja ya. Biar nggak jatuh." Nyonya rumah dengan bahasa halus berusaha 'meminta' toples kaca agar dikembalikan ke meja.

Menurutku ini 'kode' kalau dia keberatan dengan adab si anak. Ia menolak. Justru tangannya tetap mengeruk kue yang sudah habis nyaris separuh. Mereka kelihatannya juga tidak akrab-akrab amat. Buktinya nyonya tuan rumah saja tidak mengetahui nama si anak.

"Dibagi dong sama teman-temannya, itu belum kebagian," kata si nyonya sambil menunjuk ke anak-anakku. Ibunya sepertinya tak mau tahu, masih asyik dengan HP-nya.

"Nggak mau!" si anak menjawab. 

Lama kemudian.....

"Mau coba ini?" Nyonya rumah membuka toples astor di sampingnya. Sepertinya, ia sedang berusaha menawarkan alternatif agar si anak tak hanya memakan nastar jambu yang masih di pangkuannya.

"Nggak mau," jawab si anak. Sekali lagi, mendekati berteriak.

"Anaknya suka banget sama nastar, ya," tutur nyonya rumah, suaranya tenang.

"Oiya... bisa habis setoples dia kalau sudah ketemu nastar," sahut sang ayah tanpa rasa bersalah. Sementara si ibu hanya mendongak sedikit dari HP, sembari berkata, "Dia sukanya nastar sama sagu keju, bisa setoples sekali duduk habis. Tapi kalau kastengel, sebiji pun dia gak sentuh, gak suka," kata si ibu tersenyum, lalu kembali asyik dengan HP-nya.

Entahlah. Aku menjadi tidak nyaman dengan situasi itu. Pertama, aku melihat di meja hanya terdapat empat toples kue yang terlihat baru saja dibuka. Aku berfikir, kalau satu tamu menghabiskan satu toples kue, bagaimana dengan tamu-tamu berikutnya?

Tuan rumah tidak mengadakan open house besar-besaran. Bisa jadi stok kuenya juga tidak banyak-banyak amat. Kehidupannya juga 'terlihat' tidak berlebihan. Selain itu, tahu sendiri kan semahal apa harga kue kering lebaran sekarang? Setoples itu bisa jadi 90ribuan. Belum tentu masih ada stok di belakang.

Aku beberapa kali menangkap mata nyonya rumah gelisah melirik ke si anak. Ia berusaha ramah semaksimal mungkin dengan membukakan astor, kripik pisang, coklat, dan kerupuk udang. Tapi si anak sama sekali tidak peduli. Begitu juga dengan kedua orang tuanya, sama sekali tak berusaha mencegah terhadap perilaku si anak. Nastar itu sekarang bersisa sepertiga. Kelanjutannya, aku sama sekali tidak tahu, karena suamiku mengajak pamit duluan.

Menurutku, sangat penting mengajarkan adab bertamu pada anak-anak. Tentang apa yang boleh dan tak boleh dilakukan oleh anak ketika berada di rumah orang lain.  

Di rumah sendiri, anak-anak mungkin boleh saja memakan apa saja sampai habis. Tapi kalau di rumah orang lain, apalagi tak ada kedekatan emosional apapun, hal semacam itu tak etis jika dilakukan.

Tamu orang rumah bukan hanya kita. Ini penting diberitahukan kepada anak-anak, agar mereka tidak egois. Harga kue mungkin mahal. Tidak semua orang bisa membuat kue. Banyak yang memilih untuk membeli. Jadi, ajarkan pada anak-anak jika makan kue di rumah orang, tak boleh berlebihan.

Suatu saat, anak-anak kadang tidak patuh, menjadi 'rakus dan nggragas' ketika di rumah orang. Bisa jadi itu disebabkan karena mereka lapar. Jadi sangat penting memastikan perut si anak sudah terisi saat bertamu ke rumah orang. Anak-anak lebih gampang 'ditaklukkan' saat mereka tidak lapar. Percayalah!

Saat ke rumah keluarga dekat, tentu hal-hal semacam itu tidak begitu menjadi persoalan. Tapi anak-anak tetap harus diajarkan tata krama. Peraturan boleh agak lentur. Misal saat kami ke rumah kakak kandung, bolehlah agak santai, makan ketupat nambah, pake rendang, opor, telur, kue-kue, dan lain-lain. 

Tapi jika bertamu ke rumah orang lain, jelas harus ada adab dan tata krama yang harus dikenalkan dan dibelajarkan kepada anak. Kalau anak belum mau mengerti, maka jadilah orangtua yang tahu diri.

Misalnya, bertamu jangan terlalu lama, ajak anak-anak ngobrol, melihat-lihat udara luar, atau berinteraksi dengan tamu-tamu yang lain. Anak-anak gampang akrab dengan teman baru, jadi ajaklah mereka berkenalan dengan teman baru sehingga perhatian si anak tidak melulu hanya fokus ke hidangan di meja tuan rumah.

Saat bertamu pun, cobalah memaksa diri untuk tidak melihat HP. Fokuslah pada kehidupan yang nyata, bukan menyibukkan diri pada yang maya. Begitu juga ketika si anak mungkin ingin ke toilet. Walaupun anak sudah terbiasa pergi ke toilet sendiri ketika di rumah, tetap temenin ketika di rumah orang. Jangan-jangan nanti ada hal-hal tak diinginkan yang merepotkan tuan rumah.

Memang, ketika bertamu ke rumah orang lain dengan membawa anak-anak, kita harus selalu bisa 'menimbang rasa' kepada tuan rumah. Jangan ngobrol tanpa batas, sementara anak-anak dibiarkan bebas lepas. Tetap waspada. Pasang mata telinga mengawasi anak-anak kita. Jangan sampai menimbulkan ketidaknyamanan pada tuan rumah.

Intinya adalah adab! adab! dan adab! 

Kalau anak belum mengerti, tentunya kita selaku orangtua yang harus mengerti. Jangan membiarkan anak sesuka hati dengan dalih "namanya juga anak-anak" . Kemudahan dengan menelantarkan adab, bisa jadi kelak inilah yang akan menyulitkan masa depan anak.

Selamat bersilaturahhim dalam nuansa idul fitri. Jangan lupa sematkan adab dan tata krama dimanapun, dan kapanpun pada anak-anak! Selamat Idul Fitri 1440 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin.[]

Post a Comment

أحدث أقدم