Gerakan Literasi Membiasakan Membaca di Perpustakaan
Ilustrasi: Siswa Sedang Membaca Buku di Sebuah Perpustakaan
Kabarnya, minat baca masyarakat indonesia sangat rendah. Hal ini, misalnya merujuk data UNESCO tahun 2012 yang menyebutkan, hanya satu dari seribu orang Indonesia yang memiliki minat baca. Penilaian Programme for International Study Assessment (PISA) tak jauh beda. PISA tahun 2009 meletakkan Indonesia pada peringkat ke-57 dengan skor 396. Tahun 2012 menempati peringkat 64 dari 65 negara. Dan PISA 2015, Indonesia berada di urutan 69 dari 76 negara, masih kalah dengan vietnam yang bertengger pada posisi ke-12.

PISA (Programme for International Study Assessment) adalah studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa sekolah berusia 15 tahun. Studi ini dilakukan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang berkedudukan di Paris, Perancis. PISA merupakan studi yang dilaksanakan tiga tahun sekali mulai tahun 2000, 2003, 2006, 2009, 2012, dan 2015. Hasil studi PISA selalu meletakkan Indonesia pada posisi yang memprihatinkan. Menyedihkan bukan?

Ironis memang, sebagai negara dengan penduduk beragama islam terbesar, prestasi membaca anak bangsa justru berada pada urutan juru kunci. Padahal, islam meletakan urusan baca membaca menjadi skala prioritas. Bukankah ayat yang pertama kali diturunkan Allah Swt. pada Nabi Muhammad saw. dalah Al Alaq 1 – 5 yang nota bene adalah perintah untuk membaca? Bukankah Jibril ketika menurunkan ayat itu tak cukup menyuruh nabi dengan perintah sekali, bahkan diulang sampai tiga kali?

Memang banyak faktor yang melatarbelakangi rendahnya minat baca masyarakat. Disamping urusan mentalitas, harga buku yang melambung tinggi dituding sebagai salah satu pemicunya. Namun demikian, membaca tetaplah tak bisa dikesampingkan. Membaca adalah melakukan serangkaian penjelajahan intelektual mengembarai belantara pengetahuan yang rimbun dan lebat.

Dengan membaca, manusia akan dituntun untuk mengunjungi peristiwa-peristiwa, terlibat didalamnya, memberikan penilaian, sekaligus menentukan sikap untuk memungut makna dari peristiwa itu. Seorang pembaca adalah penjelajah, sekaligus pencari kebenaran yang mau membuka diri terhadap segala kemungkinan terkecil kebenaran dari yang dibacanya.

Ramadhan: Bulan Baca Tulis Al Quran

Adalah menarik merenungkan kembali wahyu pertama yang diturunkan Allah Swt. pada Nabi Muhammad saw. beberapa abad silam. Bagi penulis, bukan sebuah kebetulan jika Allah Swt. meletakkan perintah membaca mendahului firman-firman-Nya yang lain. Sebab, membaca bukan hanya sebuah proses penjelajahan intelektual yang muaranya pengetahuan. Lebih dari itu, membaca adalah sikap manusia memanusiakan dirinya sendiri.

Dengan membaca, manusia akan mengerti kedudukannya sebagai seorang makhluk: tentang dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, serta akan dibawa kemana hidupnya kelak ketika harus menghadap kembali kepada pencipta-Nya. Pertanyaan yang kemudian mengemuka, obyek apakah yang harus dibaca? Haruskah sebuah buku? Bukankah Nabi Muhammad saw. sendiri adalah ummi?

Allah memerintahkan membaca dengan bahasanya: Iqra’. Tapi amar itu sendiri tak disertai dengan maf’ul bih (obyek yang harus dibaca). Ini menunjukkan, membaca bisa dimaknai secara lebih luas dengan tak hanya melulu menjelajahi isi buku. Membaca adalah aktifitas manusia meneliti setiap detak peristiwa yang berjalin-kelindan dalam kehidupan. Membaca bisa pula diartikan menelusuri dan memahami setiap ‘fasilitas’ yang telah disediakan Allah Swt. berupa Qur’an, Alam Semesta, dan kehidupan manusia sendiri.

Kesimpulannya, membaca bukan hanya menyibukkan diri dengan mempelajari ayat-ayat qauliyah. Namun tak kalah pentingnya adalah mengamati dan meneliti setiap ayat kauniyah yang berkelibat dalam ruang kehidupan. Yang patut diperhatikan dalam kerangka ini, bahwa prosesi Iqra’ tetap harus berada dalam koridor bismi rabbikalladzi khalaq.

Artinya, kesadaran membaca, yang bermuara pada maqam intelektualitas tak boleh dilepaskan dari kesadaran ketuhanan, yang berpuncak pada spiritualitas. Sedalam apapun manusia mengarungi samudra intelektualitas, ia tetap harus berada dalam perahu spiritualitas. Ketika manusia mengabaikan rumusan ini, yang terjadi bukan hanya kekeringan ruhaniah maupun kedahagaan spiritualitas. Bahkan pada skala yang jauh, manusia akan tercerabut dari akar hidupnya. Ia akan mengalamai keterasingan sedemikian rupa dengan dirinya sendiri. Kehadirannya bukan hanya niscaya, bahkan telah menjangkiti kehidupan para pelakunya pada kurun waktu terakhir.

Dalam bukunya yang berumbul Nasionalisme Muhammad: Islam Menyongsong Masa Depan (Sipress : 1995), Emha Ainun Nadjib menuturkan, bahwa salah satu sebab kemunduran umat islam adalah ketertinggalan kaum santri dalam hal Iqra’. Menurut Cak Nun, justru pelaku era modern yang diwakili oleh dunia barat dan sekitarnya telah menang dalam ber-iqra’, meskipun pada saat yang sama, mereka ternyata gagal dalam ber-bismi rabb.

Maka, ilmu pengetahuan yang telah diraih dunia barat menjadi gersang dan tak berakar. Ilmu pengetahuan itu sendiri bahkan miskin nilai spiritualitas, tak ber-ma’rifat ilallah, tekhnologi dan industrinya tidak menjadi hasanah fiddunnyah wal akhirah, negaranya tak menjadi baldah thayyibah warabbun ghafur, dan kehidupannya dipenuhi polusi fisik, psikologis, kultural dan spiritual, karena memang tidak berorientasi dengan metabolisme alam (sunnatullah) yang bebas polusi atau residu.

Membaca dengan Metode PQSRT

Terlepas dari kondisi rendahnya minat baca masyarakat, kehadiran buku sebagai salah satu obyek yang dibaca tetap tak bisa dikesampingkan begitu saja. Buku tetaplah cahaya bagi para pengembara yang ingin menjelajahi gelapnya rimba pengetahuan. Sejarah telah membuktikan, betapa tokoh-tokoh besar dunia, kehidupannya tak bisa dilepaskan dari membaca.

Lantas, bagaimana kiat membaca buku yang efektif, agar aktifitas membaca dapat memperoleh manfaat sebagaimana yang diharapkan? Salah satu metode membaca buku adalah dengan menggunakan metode PQRST (JP Press, Media Ilmu: 2004)

PQRST adalah metode membaca dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

P (preview atau membaca sekilas), yaitu melakukan pengamatan awal secara sekilas mengenai gambaran isi buku secara garis besar. Hal ini untuk mengetahui lebih jauh perlu tidaknya seseorang membaca atau membeli buku. Kemudian Q (question atau bertanya), adalah menyusun pertanyaan dalam hati mengenai isi buku. Pertanyaan ini gunanya untuk membimbing seorang pembaca menemukan apa yang diperlukannya.

Lantas, R (read atau membaca). Setelah menyusun pertanyaan kunci, barulah seseorang membaca secara teliti paragraf demi paragraf untuk kemudian masuk pada tahapan S (summarize atau meringkas), adalah berhenti sejenak untuk membuat ringkasan atau catatan penting mengenai apa yang dibacanya. Tahap terakhir adalah T (test atau menguji). Pada tahap ini, pembaca harus menguji diri sendiri mengenai apa yang sudah dibaca: Apa saja yang dibahas dalam setiap bab, Informasi penting apa sajakah yang sudah diingat, cukup mengertikah dengan bahasan yang telah diulas, dan lain sebagainya.

PQRST memang bukanlah metode mutlak. Ia hanyalah salah satu cara untuk mengefektifkan aktifitas membaca. Dan Ramadhan sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an adalah momentum yang tepat untuk menerapkannya. Bukankah ditengah kepungan lapar dan dahaga, membaca lebih bermakna dilakukan daripada memelototkan mata pada acara TV Ramadlan yang sesungguhnya meletakkan islam hanya pada dataran formalitas? Bukankah lebih enjoy bermesraan dengan buku, daripada menyaksikan acara gosip yang justru akan mengurangi pahala serta makna puasa?

Maka, sebuah tawaran yang boleh untuk tidak dilakukan: Hiasilah lapar puasamu dengan membaca. Niscaya kau akan menjadi seorang manusia. Bagaimana menurut anda?***

Post a Comment

Previous Post Next Post