Resensi Buku Kapal Nuh Abad 21 Emha Ainun Nadjib
Kapal Nuh Abad 21 adalah cara Emha Ainun Nadjib menyindir lakon kepemimpinan di Indonesia dari masa ke masa. Cak Nun, sapaan akrabnya, membahas pemimpin berjulukan gila, malati, getaran, unggul, lalim, bodoh, masalah, derita, karir, sebab-akibat, penggelapan, darurat, dan lain-lain. Sekian ciri disajikan dengan penjelasan-penjelasan kritis dan lucu. Satire!

Cak Nun mengingatkan lagi ambisi para tokoh politik di Indonesia bersaing menjadi pemimpin. Nafsu diutamakan ketimbang kearifan dan pemahaman amanah. ’’Manusia bernafsu menjadi pemimpin, menurut Tuhan, zalim dan bodoh. Lebih bodoh daripada gunung, lebih dungu daripada hewan,” tulis Cak Nun.

Tata demokrasi di Indonesia justru memberi kemungkinan pelunasan nafsu menjadi pemimpin di partai politik dan lembaga-lembaga negara. Mereka berhitung modal politik dan duit, bukan menginsafi iman atau misi kemanusiaan.

Di Indonesia, pemimpin pun malah sering jadi pemicu seribu masalah ketimbang mengatasi masalah-masalah kita. Kita diminta memikirkan, mendoakan, mengasihani, dan memuji meski mereka melakukan hal-hal bodoh dan mata duitan.

Pemimpin tak mau disangka salah. Kehormatan mutlak milik pemimpin. Kritik dan hujatan terlarang demi nama baik dan martabat bangsa. Pemimpin mengaku manusia pilihan, berharap dipatuhi dan selalu dipilih demi masa depan Indonesia.

Anggapan-anggapan itu memberi asupan ke Cak Nun untuk menulis sindiran: ’’... orang berjuang merangkak naik agar duduk di kursi ke pemimpinan. Mereka tidak berangkat dari niat untuk mengurangi masalah, apalagi menyelesaikan masalah. Mereka menjadi pemimpin dengan prestasi menambah masalah.” Segala undang-undang, hukum, dan opini publik dilecehkan demi timbunan masalah buatan para pemimpin.

Situasi tak keruan di Indonesia memicu kita memberi tuduhan para pemimpin telah sakit parah dan keparat. Mereka menularkan pada kita seribu sakit agar gagal bahagia dan sekarat. Barangkali sekian sakit sulit mendapat obat.

Kaum ulama sudah menasihati. Para intelektual sudah memberi peringatan secara argumentatif. Para pengarang setor kritik melalui teks-teks sastra lembut dan manusiawi. Bocah-bocah sudah bersenandung pengharapan atas Indonesia.

Tapi, segala obat itu gagal meredakan atau menghilangkan sakit para pemimpin. Kita malah dipaksa ketularan sakit. Terbaring dan menderita tanpa janji keselamatan.

Para pemimpin terbukti sakit. Wabah sakit menular ke jutaan orang: mulai kaum terpelajar sampai pengusaha. Jumlah orang sakit terus bertambah. ’’Mengobati manusia itu pekerjaan kemanusiaan, bahkan kegiatan ketuhanan, tetapi sekarang menjadi bidang usaha ekonomi permanen,” tulis Cak Nun memberi sindiran ke pengusaha rumah sakit dan pemimpin.

Konon, pemimpin negara dan pengusaha sengaja ’’memproduksi orang sakit’’. Mereka memberlakukan sistem dan kepemimpinan untuk memastikan ’’stabilitas” dan ’’progres” jumlah orang sakit.

Di usia yang terus bertambah, Cak Nun tetap lucu dan galak. Ribuan tulisan menjadi cara bersikap atas diri, Indonesia, dan kita. Cak Nun sadar tulisan masih sulit menampar atau membuat pemimpin mau waras.

Di Indonesia, para pemimpin keparat terlalu sibuk, tak sempat belanja buku dan membaca. Mereka cuma sempat bergairah mencari duit dan membelanjakan untuk rumah, mobil, bermain golf, dan pelesiran ke luar negeri berdalih studi banding.

Waras bukanlah capaian bagi para pemimpin. Pelanggengan sakit mungkin membuat mereka terakui dan tercatat dalam lembaran sejarah sekarat di Indonesia. Mereka enggan meniru Nuh dalam penciptaan sejarah beriman dan memajukan peradaban manusia, sejak ribuan tahun silam. Begitu. (*)
*) digunting dari Jawa Pos, 23/07/2017
Peresensi:



Post a Comment

أحدث أقدم