Antara Kematian dan Pilpres
Gus Baha' atau lengkapnya KH. Baha'udin Nursalim
Memakai kopiah hitam yang ditarik agak ke belakang, mengenakan kostum kemeja putih berlengan panjang dengan bolpen di saku bajunya, tak ketinggalan senyum tersungging menghiasi wajahnya. Itulah penampakan khas Gus Baha’. Sangat biasa. Sangat sederhana. Gus Baha' adalah fenomena baru dengan kajian-kajiannya yang menggelitik. Tak jarang, kajian-kajian itu banyak dibagikan di media sosial mencermati fenomena yang berkembang di masyarakat.

Seperti ketika pilihan presiden menciptakan kehingar-bingaran dalam kehidupan sosial, kemudian masing-masing pihak saling mengklaim paling baik dan paling benar atas capres yang didukungnya. Apa yang dikatakan Gus Baha' kemudian? Beliau menyamakan kematian dan pilpres. Lho, kok bisa?

“Ada orang bilang, 'Saya jangan meninggal dulu, jika saya meninggal, bagaimana nasib anak istri saya?' Itu pernyataan apa? Mati ya mbok mati saja. Tak usah lebay. Mati itu kehendak Gusti Allah. Jika mati, jenazahmu ya diurus, diantar ke kuburan, setelah dikubur lalu ditahlili, selesai."

Tapi, bagaimana dengan nasib anak dan istri saya?

“Kamu kok gak percaya sama Gusti Allah, sih. Kalau kamu mati, nasib anak istrimu itu urusan Allah. Kan faktanya banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari, perempuan yang dulunya miskin, sengsara, hidupnya kembang kempis, begitu ditinggal mati oleh suaminya, ia menikah lagi dengan laki-laki lain. Ternyata setelah menikah lagi, hidupnya tambah baik, menjadi tambah kaya dan bahagia. Anak-anaknya juga begitu, ia mempunyai bapak baru yang lebih sayang, lebih terhormat, dan lebih kaya." tutur Gus Baha'.

“Makanya, gak usah lebay dan didramatisir. Biasa saja. Jika ente mati, ya mati saja. Kok seakan-akan kematianmu itu menyebabkan nasib orang lain menjadi semakin buruk. Ada-ada saja."

Lantas, apa hubungannya kematian dengan pilihan presiden?

“Nyoblos, ya nyoblos saja. Gak usah sok-sokan mengklaim jika si Anu terpilih jadi presiden, hidupmu sejahtera, rakyat kecil akan sentosa. Mana ada ceritanya rakyat terjamin hidupnya gara-gara presiden? Apalagi sampai bilang, kalau si Anu ndak terpilih jadi presiden, bagaimana nasib Islam kelak?"

"Itu pernyataan sembrono. Itu pernyataan sangat-sangat ngawur. Sejarahnya, islam itu pernah ditinggal wafat oleh Kanjeng Nabi, oleh para sahabat, oleh orang-orang saleh. Apakah islam menjadi lebih buruk, menjadi tak terurus dan ditinggal penganutnya? Nyatanya tidak. Islam makin baik karena itu sudah merupakan kehendak Allah. Islam makin banyak penganutnya. Itu sudah ketetapan Allah. Islam sama sekali tak ada urusannya dengan capres pilihanmu itu."

“Jadi, milih itu ya milih saja. nyoblos ya nyoblos saja. Sewajarnya saja. Gak usah lebay. Jadi orang itu yang biasa-biasa saja.”

"Silakan yang mau ikut pilpres. Milih baik, gak milih juga baik. Jangan merasa jika kamu memilih, terus kamu menjadi mulia. Jika kamu kerja bakti saja gak pernah ikut, sedekah maunya juga yang ngirit, malas dan jarang membantu orang, pelitnya tujuh turunan, sukanya menjelek-jelekkan orang, punya hobi memfitnah sana-sini, cuma karena merasa ikut nyoblos pilpres saja kok merasa lebih mulia dibanding orang lain."

"Padahal, siapa tahu mereka yang gak ikut nyoblos itu, justru yang gemar bersedekah, tak pernah telat menyantuni anak yatim, juga sangat berbakti terhadap orang tua, rajin mengikuti kerja bakti, memiliki andil dalam menyelamatkan lingkungan dengan berbagai program penghijauan, ia juga aktif mengajar, tidak rakus, tidak sombong, dan sebagainya".

"Lha kamu, cuma nyoblos saja kok sombongnya amit-amit. Merasa lebih baik dan lebih mulia dari yang gak nyoblos. Sejak kapan kebaikan dan kemuliaan manusia diukur hanya dari urusan cuma coblos-coblosan? Jadi orang kok sembrono.."

Siapakah Gus Baha'?
Gus Baha’ atau lengkapnya KH. Baha’uddin Nursalim adalah alumni pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Beliau merupakan santri kesayangan Mbah Maimoen Zubair. Prof. Quraish Syihab, bahkan memuji kecerdasan Gus Baha dan menyebutnya sebagai sosok langka karena menguasai tafsir dan fikih sekaligus.

Ihwal belajar ilmu agamanya, Gus Baha' menghafal Al Quran kepada ayahandanya, Kiai Nursalim di Kragan, Rembang. Selanjutnya, ia melanjutkan pengajiannya di pesantren Mbah Moen Rembang. Di bawah asuhan Mbah Moen itulah, Gus Baha' menghafalkan berbagai kitab klasik, mulai dari Fathul Mu’in yang merupakan kitab fiqih, juga Shahih Muslim lengkap beserta matan dan sanadnya dalam hadis, serta kitab-kitab lain. Tak ketinggalan adalah pelajaran tata bahasa Arab seperti Imrithi dan Alfiyah yang lazim diajarkan di pesantren, tandas dihafalnya.

Sekalipun hanya mengaji di pesantren, kepakaran Gus Baha mulai meramaikan jagat intelektual Islam Indonesia. Seperti dikutip dari alif.id, Gus Baha' masuk dalam jajaran Dewan Tafsir Nasional, Ketua Tim Lajnah Mushaf UII, Penasehat BAZNAS, dan lain-lain. Konon, beliau juga pernah ditawari gelar doktor honoris causa dari Universitas Islam Indonesia (UII), namun ditolaknya. Gus Baha adalah produk pesantren Indonesia, dengan kealiman yang pilih tanding.

Penampilannya yang sederhana, justru menunjukkan kepercayaan dirinya yang kuat. Tak ada serban yang menjuntai ataupun jubah. Bahkan, cara memakai pecinya yang agak semrawut, seperti santri yang sedang leyeh-leyeh di serambi asrama. Kemewahannya adalah sikap tawadlu'-nya, juga kepiawaiannta saat mengutip beragam referensi kitab-kitab klasik.(*)

Post a Comment

أحدث أقدم