Hakekat Belajar bagi Manusia
Belajar di Alam Terbuka
Tuhan menciptakan seremeh apapun makhluk di muka bumi ini tak ada satupun yang sia-sia. Manusia sebagai khalifah dapat belajar pada alam semesta. Ketika melihat langit terbentang di cakrawala, dedaunan yang gugur, matahari menyinari bumi, hujan turun dari langit, desiran angin, gejolak ombak, burung-burung beterbangan di angkasa, itu semua adalah media pembelajaran bagi manusia.
Kalau Anda berkecimpung dalam dunia pendidikan, atau paling tidak pernah bersentuhan dengan dunia penerbit dan perbukuan, Anda tentu tak asing dengan kalimat matematika berikut: B – B = 0, yang diterjemahkan menjadi Belajar Tanpa Buku adalah Omong Kosong. Kalimat itu bisa ditemukan dalam sebuah kalender milik sebuah perusahaan penerbitan terkemuka, yang kerap berhubungan dengan dunia sekolah.

Awalnya, saya tidak mengalami peristiwa apa-apa ketika membaca kalimat itu. Namun ketika mencoba merenungkan dan menghela nafas sejenak, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal. Pertanyaan yang kemudian begitu menggelitik, betulkah buku adalah sesuatu yang vital, sehingga tanpa buku seorang manusia tidak akan bisa belajar? Betulkah belajar tanpa didampingi buku, akan menyebabkan manusia tak akan memperoleh hasil apa-apa, selain hanya omong kosong belaka?

Saya kemudian mencoba melakukan semacam transendensi. Bahwa penerbit yang sebagian besar produknya adalah buku-buku sekolahan itu sedang menjalankan strategi marketing. Artinya, sesungguhnya kalimat itu lebih ditujukan kepada mereka yang terlibat dalam dunia akademisi. Lebih jauh, penerbit tetaplah bagian dari dunia kapital. Itulah sebabnya, harus ada ide kreatif agar eksistensinya dikenal pasar atas produk-produk yang diterbitkan, sehingga tetap bisa hidup dan berkembang.

Namun satu hal yang harus digarisbawahi, kalimat yang dipopulerkan itu harus dipahami bahwa ia tidak bisa digeneralisir. Bukankah Sang Nabi Saw. pernah bersabda, bahwa mencari ilmu (baca; belajar) tidak dibatasi usia. Bahwa kewajiban mencari ilmu berlaku untuk setiap makhluk yang bernama manusia, dan tidak hanya didominasi oleh mereka yang kebetulan diperkenankan mengenyam bangku sekolah?

Maka, pada tulisan ini saya lebih memfokuskan kaitan antara belajar dan buku jika dihubungkan dengan kemanusiaan secara utuh.

Buku dan Kemanusiaan
Tak dimungkiri, bahwa belajar adalah hal yang sangat esensial dalam kehidupan. Manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi intelektualitas, tentu harus belajar untuk mempertahankan harkat kemanusiaannya. Ia harus secara ajeg melakukan aktifitas itu selagi hayat masih dikandung badan. Permasalahannya kemudian, bagaimana manusia harus belajar? Apakah jalan satu-satunya belajar adalah dengan melalui sebuah lorong yang bernama sekolah, dimulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi? Dan dengan demikian, manusia tak memiliki kemungkinan lagi untuk memasuki lorong-lorong yang lain?

Dilihat dari ranah kognitif, belajar adalah sebuah aktivitas yang dilakukan untuk merubah dari kondisi tidak tahu menjadi tahu. Ketika seseorang tidak tahu terhadap disiplin ilmu tertentu, ia bisa belajar dengan menggunakan bantuan media, baik yang berupa sekolahan, guru maupun buku-buku secara umum. Pengertian belajar dari sudut pandang ini sifatnya parsial. Artinya, ilmu yang diperoleh masihlah ilmu al-madrasah, masih berada dalam tahap pengetahuan, dan tak ada jaminan apakah pengetahuan itu akan diterjemahkan kedalam sikap maupun perilaku, apalagi akhlak.

Bukti konkrit adalah keadaan riil sosial masyarakat pada zaman modern seperti sekarang ini. Betapa peningkatan jumlah sarjana-sarjana universitas ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan moral atau akhlak. Bukankah tiap hari dapat kita saksikan melalui layar televisi, melalui media massa, maupun media-media lainnya betapa degradasi moral telah demikian akutnya merambah kebudayaan masyarakat, bahkan terhadap semua strata?

Namun ada model belajar yang kedua, ialah belajar dengan pengertian secara integral dan utuh. Proses dimana manusia berusaha sedemikian rupa untuk secara terus menerus memahami kemanusiaannya. Tentang dari mana ia berasal, untuk apa ia ada, dan akan kemana ia harus mengarahkan hidupnya. Belajar dengan pengertian semacam ini sungguh berbeda dengan pengertian yang pertama. Manusia sebagai makhluk yang memiliki sifat-sifat ketuhanan dituntut untuk setia kepada hati nuraninya, dan tentu saja ia harus menghidupkan sedemikian rupa potensi pada dirinya untuk menghayati dan merenungi segala sesuatu yang tersebar di alam semesta.

Pada tahap ini, yang diutamakan bukanlah mengetahui, tapi mengalami. Yang penting bukan pengetahuan, namun pengalaman. Inilah yang dinamakan ilmu al-hayat, ialah ilmu kehidupan. Maka keberadaan buku, guru atau sekolahan bukan menjadi sesuatu yang niscaya. Ia bahkan menjadi hal yang boleh tidak ada. Kecuali buku dalam tanda petik, berupa ayat-ayat qauliyah yang telah diturunkan olehNya sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan.

Tuhan menciptakan seremeh apapun makhluk di muka bumi ini tak ada satupun yang sia-sia. Manusia sebagai pemegang khilafah dapat belajar pada alam semesta. Ketika melihat langit terbentang di cakrawala, dedaunan yang gugur, matahari menyinari bumi, hujan turun dari langit, desiran angin, gejolak ombak, burung-burung beterbangan di angkasa, itu semua adalah media yang disediakan Tuhan untuk proses pembelajaran manusia.

Lebih dari itu, manusia juga bisa belajar kepada dirinya sendiri, kepada kesalahan-kesalahan masa lalu, kepada pengalaman-pengalaman, dan bahkan kepada setan atau iblis sekalipun. Bukankah setan yang notabene telah menyatakan perlawanan kepada-Nya ternyata masih takut kepada Tuhan? Bandingkan dengan perilaku kehidupan kebanyakan manusia-manusia saat ini. Bukankah mereka mengakui Tuhan? Namun apakah segala perilaku dan budaya hidup sehari-harinya telah mencerminkan rasa takut kepada-Nya?

Maka, belajar itu memang perlu, dan bahkan harus. Tanpa belajar, manusia hanyalah akan menjadi organ yang mati, dan ia sama sekali tak berbeda dengan batu, keledai, kambing, atau mungkin kucing. Maka jika tak ingin sama dengan kambing, jalan satu-satunya adalah terus belajar. Kitalah yang akan menentukan siapa kita, bukan orang lain.(*)

Post a Comment

أحدث أقدم