Tengoklah misalnya dalam kurun waktu terakhir, hadirnya produk teknologi seperti handphone, internet, televisi, ataupun yang sedang marak berupa gawai (dalam bahasa inggris: gadget) telah mengubah pola kehidupan masyarakat. Dalam keluarga, HP atau gawai lebih penting dibanding istri/suami, bahkan anak sekalipun. Tak pelak, hubungan antar anggota keluarga menjadi renggang disebabkan masing-masing lebih asyik dengan layarnya masing-masing. Dalam pergaulan sosial, interaksi yang hangat menjadi hilang, karena ketika sekelompok orang berkumpul, tiap individu lebih memilih gawainya dibandingkan bercengkrama dengan orang di sekelilingnya.
Ironisnya, keadaan tersebut juga menghinggapi anak-anak, yang tak asing lagi dengan gawai. Sebagai pengguna gawai, anak-anak menjadi malas bergerak dan enggan beraktifitas. Mereka lebih memilih duduk dan menikmati dunia yang ada di layarnya. Keadaan tersebut tentu akan memengaruhi perkembangan anak, baik dari segi fisik, motorik, psikologis, dan sosial anak. Anak-anak tak akan memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekelilingnya, karena lebih berkonsentrasi dengan permainan digitalnya. Memprihatinkan bukan?
Pada saat bersamaan, kehadiran produk teknologi lainnya seperti televisi juga turut mengubah perilaku seseorang. Saat ini, hampir semua keluarga telah memiliki televisi. Televisi menjadi benda terhormat yang diletakkan di tempat utama. Semua anggota keluarga akan duduk menatapnya setiap waktu, memperhatikan apa saja yang ditayangkannya, hingga terbuai dengan yang disajikannya, dari pagi hingga kembali pagi. Artinya, televisi telah mampu menjadi pusat perhatian mengalahkan yang lain.
Hal-hal itulah, diakui atau tidak, telah memberikan andil terhadap pemasalahan karakter yang terus berlangsung saat ini. Meningkatnya perilaku yang menyimpang dari norma dan etika, semakin terkikisnya penerapan nilai-nilai luhur yang sesuai dengan kepribadian bangsa, serta memudarnya rasa hormat terhadap orang tua atau guru adalah fenomena yang terus bergulir. Itu semua merupakan persoalan pendidikan yang harus mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak, terutama bagi para pendidik, pemuka masyarakat, dan orangtua.
Gerakan 18-21
Di berbagai daerah, upaya menanggulangi dampak buruk perkembangan teknologi marak dilakukan, salah satunya melalui gerakan 18-21 (baca: delapan belas dua satu). 18-21 adalah istilah durasi waktu antara jam 18.00 sampai 21.00 wib, sebuah waktu krusial bagi stasiun televisi (prime time). Di Lamongan, gerakan 18-21 bahkan dikukuhkan dengan Instruksi Bupati Lamongan Nomor 2 Tahun 2016 tentang Gerakan 18-21. Gerakan tersebut merupakan upaya Pemkab Lamongan untuk membentengi masyarakat dari serbuan teknologi yang gegap gempita.
Melalui gerakan 18-21, Bupati Lamongan mengajak kepada seluruh masyarakat untuk mematikan televisi, HP, gawai, dan perangkat elektronik lainnya sejak pukul 18.00 hingga 21.00 Wib. Kegiatan yang dilakukan adalah 3B, yaitu Berjamaah, Belajar, dan Berkomunikasi. Berjamaah adalah pembiasaan menanamkan karakter religius dalam lingkungan keluarga. Belajar adalah membiasakan kegiatan literasi, baik mempelajari kitab suci, pelajaran sekolah, maupun pengetahuan-pengetahuan lainnya. Sedangkan Berkomunikasi adalah bercengkrama dengan anggota keluarga agar tercipta kedekatan emosional. Hal inilah yang selama ini sering terabaikan akibat perkembangan teknologi digital.
Yang patut dicermati, Gerakan 18-21 itu tak mungkin bisa berjalan efektif jika tidak didukung oleh kesadaran seluruh elemen masyarakat. Artinya, harus ada langkah kongkrit agar gerakan itu dapat berjalan maksimal. Pertama, orang tua harus betul-betul mematikan seluruh perangkat elektronik mulai handphone, gawai, komputer, dan terutama televisi pada jam-jam tersebut. Tayangan televisi pada jam-jam itu tidak sepenuhnya mendidik. Akan sangat tidak berguna jika gerakan 18-21 didengungkan, orang tua justru membiarkan tayangan televisi, maupun gawai tetap menyala.
Kedua, pendidikan anak adalah tanggung jawab utama orang tua dalam keluarga. Sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama, orang tua harus dapat menanamkan nilai-nilai karakter yang positif kepada anak-anaknya. Hal ini mestinya dilakukan sepanjang waktu, tapi mungkin karena kesibukan bekerja, gerakan 18-21 bisa dimanfaatkan untuk keperluan itu. Artinya, pada rentang waktu itulah orang tua harus betul-betul meluangkan waktunya untuk mendampingi anak-anaknya. Jika tidak, masa depan anak-anak adalah taruhannya.
Ketiga, sekolah sebagai bagian dari gerakan 18-21 harus melakukan sosialisasi kepada orang tua. Pertemuan ini diperlukan untuk menyamakan persepsi tentang pentingnya program yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah. Tak kalah pentingnya, guru juga harus bisa memberikan penekanan tentang manfaat gerakan 18-21 kepada anak-anak dalam kegiatan pembelajaran. Diharapkan anak menjadi lebih tertarik dan melakukan program 18-21 di rumah dengan kesadarannya sendiri.
Keempat, untuk mendeteksi permasalahan yang muncul, sekolah bisa membuat buku kendali berisi format tentang kegiatan yang dilakukan oleh anak pada jam 18.00 – 21.00 wib. selama di rumah. Buku ini harus diisi oleh anak tanpa rekayasa untuk menanamkan karakter jujur dan bertanggung jawab. Secara berkala, guru harus memeriksa dan mengevaluasi agar bisa dilakukan kegiatan tindak lanjut.
Begitulah, gerakan 18-21 memang gerakan mulia. Semua tentu berharap bahwa gerakan yang didengung-dengungkan itu tak hanya berhenti sebagai gerakan, apalagi sebatas jargon semata. Setidaknya, penguatan pendidikan melalui gerakan 18-21 akan berpengaruh terhadap permasalahan karakter anak ke depan, tentu jika hal itu benar-benar serius dilaksanakan?(*)
Penulis: Em. Syuhada', Penulis lepas.
Post a Comment