Pentas politik kian riuh menjelang pileg pilpres 2019. Meski kampanye terbuka belum dimulai, berbagai upaya telah dilakukan oleh caleg untuk mendapatkan suara. Di pelbagai tempat di segala penjuru arah, tampang para caleg di poster atau baliho bertebaran di mana-mana. Wajah-wajah ganteng, ayu, elok, nan rupawan. Tentu saja dibumbuhi dengan kata-kata yang sebaik-baiknya.

Memang, untuk memperoleh suara signifikan pada pemilu 17 April mendatang, calon legislatif tak boleh berpangku tangan. Mereka harus menyusun strategi efektif agar namanya dikenal oleh khalayak, terutama di daerah pemilihannya. Dan itu, tentu butuh biaya yang tidak sedikit.

Sayangnya, upaya para caleg dalam menarik calon pemilih itu cenderung narsis. Dalam atribut kampanyenya (terutama baliho), rata-rata memampangkan gambarnya dengan mencanangkan kalimat sebagai pembela rakyat dengan menonjolkan diri sebagai yang paling jujur, paling oke, paling mampu, paling baik, paling cerdik, dan lainnya.

Padahal bagi sebagian besar orang, dengan semakin terbukanya era informasi dan pengetahuan masyarakat, kata-kata itu bukan hanya tidak menarik, bahkan cenderung “memuakkan”. Kenapa tidak mencari cara lain, bagi-bagi uang, eee. .sory stypo, bagi-bagi buku umpamanya

Dulu sekali, pada perhelatan politik 2009, Muhidin M. Dahlan menuturkan seorang aktifis buku Diana A.V. Sasa yang nyaleg (2019 kembali nyaleg) dan telaten membagikan 20 buku pada setiap rumah yang didatangi tiap harinya. Sasa memutuskan diri memasuki dunia politik praktis dengan hanya berbekal tiga amunisi berupa tenaga, pikiran, dan buku. (Suara Hening Aktifis Buku di Karnaval Politik yang Riuh, JP, 8/03/09).

Di tempat berbeda, caleg DPR RI dari Padang Sumatra Barat memiliki satu lagi tambahan amunisi yang lebih ampuh: apalagi kalau bukan fulus. Pak Caleg menyumbangkan 500 buku ke seluruh kelurahan yang ada di Padang. Setidaknya, ia harus merogoh kocek satu milyar lebih untuk keperluan itu.

Di tempat lainnya lagi, ada caleg DPRD di sebuah kabupaten di Jawa Timur juga menjadikan buku sebagai salah satu media menarik massa. Buku-buku waktu itu semacam Petunjuk Tekhnik Budidaya Tanaman Unggul, dan semacamnya, di terbitkan bekerja sama dengan sebuah perusahaan penerbitan di Jakarta.

Yang memprihatinkan, ada caleg membagi-bagikan buku bernuansa keagamaan (Buku Yasin, Istighfar dan Tahlil) dengan memampangkan foto, nomor urut partai, dan atribut lain. Tragisnya, caleg yang mengedarkan buku-buku itu beragama non muslim. Tak ayal, MUI pun berang saat itu. Penggunaan simbol agama Islam oleh caleg nonmuslim dinilai telah melanggar etika keagamaan.

Tak ada yang salah dengan caleg bagi-bagi buku. Bahkan adalah angin segar ketika calon anggota dewan itu memiliki greget pada dunia perbukuan dengan berupaya meningkatkan minat baca masyarakat (setidaknya dengan membagi-bagikan buku secara gratis).

Entah dengan 2019. Kalangan perbukuan dan pecinta buku tentu berharap ada caleg yang turut berkomitmen untuk mengangkat permasalahan literasi yang akut di negeri ini, dengan berkampanye tak hanya melalui baliho, tapi juga lewat buku. Namun, tak usahlah jual tampang dengan memasang gambar pada lembaran buku.

Tak penting siapa engkau. Engkau tak cukup terwakili dengan hanya gambar atau foto dirimu. Dirimu adalah keseluruhan perilaku yang telah engkau lakukan. Maka, adakah caleg yang berani membuang “diri”nya dalam Pileg mendatang, minimal dengan tak memamerkan wajahnya? Kita lihat saja!***

Post a Comment

أحدث أقدم