"Sangat merendahkan martabat, tidak mengindahkan harga diri. Bagaimana bisa, seorang guru hanya diam saja dan tidak melakukan apa-apa diperlakukan muridnya semacam itu?" Pakde Mus bersungut-sungut geram. Gemeretak giginya menunjukkan ia sangat emosional ketika Kang Narto menunjukkan padanya sebuah video, seorang murid begitu pongahnya memperlakukan gurunya di kelas dengan tak beradab.
"Jika saya gurunya, sudah saya lumat habis itu anak. Memang dianggapnya kelas itu terminal, yang bisa berbuat seenak udelnya. Terminal saja masih ada aturan, bagaimana manusia memperlakukan manusia lain. Itu kelas, di sekolah, tempat dimana akhlak dan etika dibelajarkan." suara Pakde makin meninggi.

"Guru sekarang serba salah, Pakde. Penuh dilematis. Jika ia melakukan seperti yang pakde katakan, ceritanya akan lain," Kang Narto yang duduk di hadapannya menyela.

"Lain bagaimana?"

"Kalau Pak Guru bertindak, tak usah jauh-jauh menamparnya, sekedar menjewer saja umpamanya, orang tuanya nanti tak terima dan melaporkannya ke polisi. Pak Guru akan berhadapan dengan hukum, dengan komisi perlindungan anak, dengan HAM. Ujung-ujungnya ia masuk penjara. Lantas, bagaimana nasib anak istrinya jika Pak Guru mendekam di balik jeruji?"

"Halah, HAM lagi HAM lagi, lagi-lagi HAM." tukas pakde sengit, intonasinya menirukan salah seorang komedian di televisi, "Apa yang diperbuat HAM jika anak itu kelak jadi brandal, tak tahu sopan santun, tak mengerti bagaimana mestinya bersikap kepada sesama manusia."

Kang Narto hanya terdiam. Tak mengerti bagaimana harus menanggapi pertanyaan Pakde Mus. Ia pikir, benar juga yang dikatakan lelaki paruh baya itu. Selama ini, selalu HAM yang dijadikan alasan jika ada persoalan anak di sekolah. Apalagi, orang tua kadang tak selalu bisa berbuat bagaimana mestinya menjadi orang tua, tak seperti orang tuanya dulu, ketika ia masih anak-anak.
Baca Juga: Balada Seribu Guru
Sejurus kemudian, suasana tampak hening. Pakde Mus menyerahkan kembali HP kepada Kang Narto dengan menghela nafas dalam-dalam. Kang Narto menerimanya tanpa suara. Di meja, berjejer cangkir kopi dan beberapa bungkus kretek. Pakde Mus lantas mengambil cangkir, meneguk isi di dalamnya beberapa teguk, ketika sebatang kretek diselipkan di bibirnya, asap tembakau itu berkeliaran memenuhi udara.

"Guru sekarang memang berbeda," Pakde Mus kembali bersuara. Kali ini nada suaranya datar, tak lagi meledak-ledak.

"Video itu jelas menggambarkan betapa Pak Guru itu sama sekali tak memiliki wibawa di hadapan murid-muridnya. Bagaimana bisa ia berada di kelas, sedang murid tak menghargai keberadaannya."

"Tak jelas video itu, Pakde. Apa Pak Guru itu sedang mengajar, atau kebetulan hanya masuk kelas saat mendengar kegaduhan di kelas karena kelas kosong." sanggah Kang Narto.

"Tak jelas bagaimana. Jelas-jelas Pak Guru di dalam kelas. Tapi anak-anak berkeliaran. Mereka bergurau tak tahu aturan. Bahkan terang-terangan salah seorang di antara mereka merokok, lantas memperlakukan Pak Guru seperti anak kemarin sore, seolah-olah mau menonjok mukanya, dan siswa lainnya bersorak sorai seolah-olah itu tontonan badut atau komedi bedes. Di mana wibawa guru ketika itu?"

Kang Narto kembali tak buka suara. Ia duduk tepekur mendengarkan Pakde Mus yang mulai menyerocos.

"Mungkin betul kata sampean. Pak Guru serba salah dalam kondisi seperti itu. Berada pada situasi dilematis antara bertindak atau tidak bertindak menghadapi perilaku anak yang demikian. Atau, Pak Guru memang terlalu sabar dan tak mau mengambil resiko di tengah pergeseran cara pandang orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Tapi membiarkan anak berbuat sedemikian pongah dan tak beretika bukanlah sikap yang arif bagi seorang guru menurut saya."

"Lantas menurut Pakde?"

"Suatu saat, anak-anak perlu dihadapkan dengan kekerasan, agar ia mengerti keteguhan dan ketegasan. Agar ia tahu martabat dan harga diri."

"HAM Pakde, HAM!"

"Kekerasan tidak selamanya buruk, asal diberikan sesuai dengan porsinya. Kalau saya, saya lebih memilih dipenjara daripada membiarkan anak-anak tak beretika. Persetan dengan HAM. Kekerasan dibutuhkan agar anak bermental baja dan tidak cengeng. Kalau segala bentuk kekerasan itu buruk dan dilarang, mengapa Rasul menyuruh memukul anak, jika si anak tak bersedia menjalankan shalat pada usia tertentu? Kekerasan tak sama dengan penyiksaan atau penindasan."

Lelah berkata, Pakde Mus lantas menengadah. Sorot matanya menembus jauh ke ruang hampa. Pikirannya menerawang ke masa silam, memendarkan wajah gurunya di ruang kesadarannya secara tiba-tiba.

Ia ingat betul dengan tabiat gurunya waktu itu. Guru yang begitu dihormati dan disegani olehnya, juga kawan-kawannya. Perawakan gurunya memang kecil, seolah-olah tak berdaya, tapi aura kewibawaannya demikian kentara.

Kala itu, jangankan memperlakukan gurunya seperti di video itu, bahkan mendengar telapak kakinya saja, ia dan teman-temannya sudah tertata sikapnya. Ia tidak ditakuti, tapi anak-anak segan terhadapnya. Ia mengajar, bahkan sebelum mengajar.

"Itulah wibawa. Itulah perlunya olah batiniah," Pakde Mus membatin.

"Pak guru hari ini memang harus banyak belajar. Tidak cukup hanya mengasah intelektualitas, tapi sisi-sisi ruhani harus disentuh, agar energi itu memancar dari dirinya, berpendar menerangi jalan anak didiknya."

"Sayangnya, Pak Guru sekarang terlalu sibuk, lebih tepatnya disibukkan dengan hal remeh temeh, dengan kertas-kertas berserakan, dengan rumbai-rumbai permukaan yang begitu menggoda. Entah, bagaimana nasib pendidikan ini ke depan."

Langit mendung. Anak-anak berlarian pulang. Pakde Mus tergeragap. Suara dengkuran Kang Narto di depannya membuat angannya buyar seketika. Gerimis perlahan turun. Kopi tinggal ampas.(*)

Post a Comment

أحدث أقدم