Hanif Afnan Guru SD Kembangbahu
KOMUNITASNGOPI.com - Membaca adalah kegiatan yang harus dilakukan anak sejak sekolah dasar (meskipun masih kontroversi, ada sebagian TK yang telah mengenalkan membaca pada siswanya). Di sekolah dasar, siswa diajarkan membaca permulaan di kelas bawah, hingga membaca intensif di kelas tinggi. Lazimnya, sejak lulus dari sekolah dasar, anak-anak sudah harus bisa membaca secara intensif. Sebab, secara umum tingkat kemampuan membaca seorang anak berkaitan dengan tingkat kemampuan berpikir.

Berdasarkan pengalaman penulis ketika melakukan pembelajaran, siswa yang sejak kelas empat telah mampu membaca intensif, maka kemampuan intelegensinya akan mumpuni di kelas-kelas berikutnya. Sedangkan, siswa yang kurang memiliki kemampuan membaca intensif, akan mengalami kesulitan dalam melewati kelas-kelas berikutnya. Dari sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa kegiatan membaca merupakan kompetensi yang harus dikuasai siswa agar kemampuan intelegensinya meningkat.

Idealnya, sejak lulus SD manusia telah mampu membaca intensif. Kenyataannya masih banyak orang Indonesia, terutama siswa kelas 6 SD yang belum lancar membaca. Bahkan secara nasional, masih ada penduduk indonesia yang buta aksara. Itulah salah satu faktor yang menyebabkan negeri ini sulit berkembang. Menurut Bung Hatta, kemajuan suatu bangsa terletak pada watak penduduknya. Watak yang baik terbentuk dari kemampuan menyerap ilmu dan menerapkannya untuk menyaring hal-hal negatif, serta membentuk karakter melalui membaca buku.

Dilihat dari segi kebutuhan, membaca merupakan hal yang sangat penting bagi manusia yang haus pengetahuan dan wawasan. Bagi manusia semacam ini, yang dilakukan adalah berteman dengan buku untuk memperluas wawasan dalam kehidupan. Memang, banyak tokoh besar dalam sejarah lahir karena kebiasaan membaca buku. Hanya saja, tidak sedikit yang berpandangan bahwa membaca adalah hal yang sangat membosankan. Membaca hanyalah kegiatan membuang waktu dan tidak berguna. Apalagi, zaman serba digital telah membuat manusia kecanduan gadget, sehingga semakin jauh dari membaca buku.
Baca Juga: Guru Menulis, Siapa Takut?
Tahun 90-an ketika penulis masih berada di bangku sekolah dasar, membaca merupakan hal yang menyenangkan, bahkan menghibur. Hal ini berbeda dengan siswa masa kini yang menjadikan aktifitas membaca sebagai beban. Siswa bersedia membaca hanya ketika menjelang ulangan. Sudah pasti, pengetahuan siswa hanya sebatas pada pelajaran sekolah. Siswa tidak mau memperkaya pengetahuan dengan berbagai hal yang membangun imajinasi dan daya pikir, mengembangkan kemampuan berfikir kritis, sehingga mampu menyikapi permasalahan sosial di hadapannya.

Penulis sering menyaksikan, betapa siswa masa kini malas untuk berfikir dan mengembangkan kreatifitas. Akibat kemalasan berfikir ini, seringkali siswa mengambil jalan pintas untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dengan mencontek, mengakui hasil karya orang lain, dan semacamnya. Bahkan, pada tingkatan yang jauh, ada sebagian siswa yang nekat menempuh jalan terlarang yang mustahil dibayangkan oleh guru sekalipun.

Contoh riil adalah sekolah tempat penulis bekerja, hampir seluruh siswanya malas membaca. Begitu pula sekolah lain di wilayah sekitar, persoalan yang dihadapi nyaris sama. Padahal perpustakaan terbuka lebar dengan koleksi berbagai macam buku. Hanya beberapa siswa yang bersedia menyempatkan waktu untuk masuk ke perpustakaan dan membaca buku. Padahal, setiap senin selalu dihimbau untuk datang ke perpustakaan untuk membaca, bahkan meminjam buku.

Hal-hal itulah yang membuat hati penulis resah. Sebagai seorang pendidik, bagaimana hati tidak terusik ketika mendapati siswa yang enggan membaca. Pertanyaan demi pertanyaan pun bermunculan. Bagaimana menumbuhkan kesadaran akan pentingnya membaca? Bagaimana nasib bangsa ke depan jika generasi mudanya tidak terbekali dengan wawasan dan pengetahuan untuk membangun kepribadian?

Penyebab Hilangnya Kesadaran Membaca Berangkat dari keresahan itulah, penulis akhirnya mencari penyebab hilangnya kesadaran membaca pada siswa dalam sepuluh tahun terakhir. Dari beberapa diskusi dan wawancara, penulis menyimpulkan bahwa penyebab permasalahan ini ada beberapa faktor, yakni dari lingkungan eksternal, dan internal diri anak sendiri. Lingkungan eksternal yang bertanggung- jawab atas rendahnya minat baca pada anak-anak SD adalah guru dan orangtua.

Orang tua menjadi akar penyebab hilangnya kesadaran membaca pada anak-anak. Mungkin karena pola pikir kebanyakan orangtua yang kurang memahami, bahkan tidak sadar manfaat membaca. Dapat juga disebabkan karena orang tua, yang mayoritas petani telah bekerja keras sepanjang hari lalu. Ketika di rumah, hanya kelelahan yang dialami, sehingga tidak memiliki waktu untuk memikirkan perkembangan buah hatinya.
Baca Juga: Pendidikan Yang Menduakan Tuhan
Tak dimungkiri, hampir semua orang tua di desa tidak menanamkan budaya baca sejak dini. Mayoritas orangtua tidak menyediakan buku bacaan, selain buku pelajaran dari sekolah. Orang tua bahkan lebih memilih membelikan game dan smartphone daripada mendekatkannya dengan buku. Padahal, waktu anak di rumah jauh lebih lama daripada di sekolah. Jika di sekolah hanya setengah hari dan kegiatan membaca tidak dibiasakan sejak dini, maka anak pun tumbuh tanpa kegemaran dan kesadaran membaca.

Penyebab kedua yakni dari pihak guru. Mayoritas guru belum memiliki kegemaran membaca. Bagaimana siswa senang membaca bila gurunya sendiri enggan memegang buku? Bukankah guru-guru zaman sekarang tak luput dari pengaruh negatif globalisasi. Bukankah sebagian besar telah melupakan budaya baca dan justru tak bisa melepaskan diri dari pengaruh HP atau smartphone?

Pada sisi lain, guru lebih mementingkan latihan dengan berbekal materi sebatas pelajaran demi mencapai tuntutan kurikulum. Meski pelatihan literasi sering dilakukan, sepertinya guru kurang konsisten dalam menerapkannya di sekolah. Pemberdayaan perpustakaan sekolah masih sangat jauh dari yang diharapkan. Perpustakaan sekolah pada akhirnya adalah tempat keramat yang nampak angker. Beberapa lembaga bahkan lebih mementingkan memperbaiki dan membangun ruang lainnya daripada merawat perpustakaannya.

Untuk itulah, agar nasib bangsa ini berubah di masa mendatang, budaya membaca haruslah digelorakan oleh semua pihak. Apalah artinya gerakan literasi jika tanpa dukungan orang tua dan guru yang bertanggungjawab membentuk watak dan kepribadian anak. Anak dilahirkan sebagai kertas putih. Orang tua, serta guru-lah yang mewarnai kertas itu menjadi merah, kelabu, atau bahkan abu-abu. (*)

*) A. Hanif Afnan, pria sederhana yang terlahir di Lamongan, 8 agustus 1979. Dalam keseharian bekerja sebagai seorang guru SDN Kaliwates, dan kalau dihitung sudah mengabdi selama 17 tahun. Harapannya sederhana, ia ingin menimba ilmu dan memberikan keteladanan kepada peserta didiknya, bahwa menulis merupakan bagian dari proses belajar.

Post a Comment

أحدث أقدم