Melihat Dunia dari Secangkir Teh

Siapa tak kenal dengan Emha Ainun Nadjib. Mbah Nun, demikian beliau kerap dipanggil sekarang, adalah sosok multidimensi. Berbagai status disematkan padanya mulai dari budayawan, penyair, seniman, ustadz, hingga ulama dan kiai. Meski tak berijazah legal formal tapi pemikiran-pemikiannya liar, 'nakal', dan cenderung menabrak mainstream. Tak heran jika Gus Mus pernah menjuluki beliau sebagai kiai tanpa surban, santri tanpa sarung, guru tanpa sekolah, ksatria tanpa kuda, haji tanpa peci, sarjana tanpa wisuda, dan sebagainya.

Beberapa waktu lalu, ketika membuka catatan-catatan lama, saya menemukan dua hal menarik yang pernah diungkapkan oleh Mbah Nun. Ringan sebetulnya, tapi penting bagi siapapun yang bersedia membuka diri terhadap proses dan cara berpikir, yaitu tentang Melihat Dunia dari Secangkir Teh dan Membuka Gudang Ilmu. Lho!
Baca juga: Lelaki yang Bercengkrama dengan Mimpi
Belajar memang tak selalu identik dengan sekolah. Belajar bisa kapan saja dan di mana saja, tergantung bagaimana manusia mengolahnya. Bahkan ketika melihat secangkir kopi, sebatang kretek, atau segelas teh.

"Nggak usah jauh-jauh," demikian dikatakan Mbah Nun, "Teh misalnya, jika Anda minum teh tiap pagi, tapi gagasan Anda tentang teh tak ada perkembangan. Ya sama saja. Sampai kapanpun Anda hanya berpendapat bahwa teh itu kecoklat-coklatan, dimasukkan gula, dimasukan airnya, diminum, selesai."

"Tidak ...! Tidak hanya itu. Anda harus berlatih perkembangan berpikir. Bahwa melalui secangkir teh, Anda bahkan bisa melihat dunia. Sewaktu melihat teh, Anda lantas teringat petanian teh, berapa manusia yang nasibnya sama dengan petani teh, sistem pemerintah dalam menangani teh, monopoli pemerintah tentang teh, dan sebagainya."

"Begitu juga ketika melihat sebatang kretek, jangan berhenti hanya pada rokok membunuhmu, rokok merugikan kesehatan, dan semacamnya. Tapi berpikirlah mengapa sampai lahir iklan semacam itu. Rokok hubungannya dengan "perang" dalam dunia farmasi, mutu tembakau indonesia yang tak ada duanya, kebijakan pemerintah terhadap petani tembakau, hingga terapi kesehatan yang justru memanfaatkan asap rokok."

Lantas, bagaimana dengan membuka gudang ilmu?

"Jika ingin membuka gudang ilmu dengan mudah," tutur Mbah Nun, "Maka pertama, Anda harus melatih kepekaan, kecerdasan, imajinasi, analisa, dan lain-lain terus menerus. Kalau sudah dilatih, nanti nggak sukar memikirkan masalah, karena sudah terlatih."

"Kedua, yang namanya gudang ilmu itu luas. Banyaknya ilmu Anda tergantung pada aktifitas Anda dalam mengelola kepekaan, kecerdasan, imajinasi dan analisa. Kalau Anda cangkir, maka ilmu yang Anda dapatkan sebesar cangkir. Jika Anda drum, maka ilmu yang Anda dapatkan sebesar drum. Sekarang terserah Anda, mau jadi cangkir, jadi drum, atau menjadi sungai."
Baca Juga: Kopi Joss, Jangan Omong saja, Suu!
"Ketiga, Anda harus menjadi kunci untuk membuka gudang ilmu. Untuk mencari kehendak Allah Anda harus berlatih terus. Anda tidak bisa menendang bola yang tingginya satu meter dan bisa memasuki gawang, kecuali Anda harus latihan terus walaupun kadang-kadang salah. Anda jangan berpikir setelah saya kasih resep Anda langsung bisa. Tidak!"

"Sekarang Anda boleh ambil seratus sosiolog dan suruh pergi bersama saya menuju sebuah kampung. Mereka telah memiliki ilmu banyak dari kampus, dari sekolah, serta telah mengetahui banyak cara menendang bola. Yang menjadi persoalan, apakah cukup hanya tahu bagaimana menendang bola? Tidak bukan?"

"Begitu juga dengan Anda yang sudah cukup tahu bagaimana menendang bola dengan baik, yang menjadi persoalan selanjutnya adalah “what next?” Apa yang akan Anda lakukan sesudah mengetahui?"

Begitulah, alam seisinya adalah sekolah kehidupan yang tak ada habisnya. Ayat tuhan bukan hanya qauliyah, tapi ada ayat-ayat kauniyah. Itu semua adalah media bagi manusia untuk belajar dan berproses.(*)

Post a Comment

أحدث أقدم