Lelaki Yang Bercengkrama dengan Mimpi
Cerpen: Em. Syuhada'
Tak ada yang bisa dilakukan oleh Kang Thawil selain berdiri mematung menatapi pemandangan di sekelilingnya yang membuat batinnya miris. Sejauh mata memandang, yang terpampang adalah hektaran sawah dengan tanaman porak poranda. Genangan air bercampur lumpur telah membuat tanaman padi siap panen itu menjadi onggokan benda tak ubahnya sampah, timbul tenggelam dipermainkan semilir angin yang menciptakan riak-riak kecil. Dan lelaki itu, tanpa sepatah kata mencoba menyibakkan batang demi batang, seperti berusaha memungut harapan hidupnya yang terserak tak keruan entah kemana.

Dia kemudian menghela nafas. Sesuatu dirasakannya begitu berat menghimpit rongga dadanya. Sungguh berat. Bahkan untuk sekedar menarik nafas pun terasa susah. Kenyataan yang dihadapinya sekarang menjelma ribuan jarum dihunjamkan begitu saja ke relung hatinya. Menusuk-nusuk kemanusiaannya. Dan batinnya terasa begitu perih. Ah, andai saja ia menuruti perkataan istrinya beberapa waktu yang lalu, tentu kenyataan akan berkata lain.

"Kenapa tidak kita panen saja, Kang, toh hanya tanaman ini yang bisa diharapkan untuk memenuhi kebutuhan kita. Apa kita tidak malu terus-terusan ditagih sama Lek Sakri." itu saran istrinya seminggu yang lalu, ketika keduanya tengah menghalau padi yang telah menguning itu dari serbuan pipit.

"Ndak usah terburu-buru bune, mungkin seminggu atau dua minggu lagi padi ini kita panen. Biarlah aku nanti yang ngomong sama Lek Sakri, yang penting kan, ada yang kita jagakne untuk melunasi hutang."

Dan ia memang hanya seorang manusia, yang tak pernah tahu dengan apa yang terjadi esok. Sama sekali tak menyangka jika takdir kembali memaksanya harus menelan kegetiran demi kegetiran.

Lelaki itu, Kang Thawil, demikian orang biasa memanggilnya, memang petani yang seluruh penghidupannya bertumpu pada sawah. Bagi lelaki setengah baya itu, sawah adalah muara dari berliku-likunya air sungai persoalan kehidupan yang sehari-hari digelutinya. Mulai dari sambatan si Iwik, anak semata wayangnya yang merengek-rengek minta dibelikan seragam sekolah. Juga hutangnya pada Lek Sakri, yang hampir setengah tahun belum mampu ia lunasi.

Apalagi istrinya yang mengeluhkan biaya hidup yang makin membengkak dari hari kehari. Belum lagi jika mulutnya ingin menikmati sebatang dua batang kretek. Apa yang bisa ia janjikan selain harapan yang seluruhnya ia tumpuhkan pada sebidang tanah yang berada di ujung desa.

Lantas ketika banjir itu datang begitu saja secara tiba-tiba...........

Ada beribu tanya yang tak pernah mampu ia jawab. Ada setumpuk beban memenuhi rongga dadanya yang menyebabkan ia merasa sesak. Barangkali benar, bahwa keresahan adalah ketika harapan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Bahwa penderitaan adalah, ketika yang bersemayam dalam angan-angan adalah setetes madu, namun yang dihadapi adalah sebotol racun yang siap menelan nyawa kehidupannya, kapan saja dan dimana saja? Apa yang bisa dilakukan oleh orang susah seperti dia?
***

Bagi orang kecil sepertinya, Kang Thawil tak pernah berharap bisa menjadi orang kaya, seperti tetangganya yang setiap hari bisa ganti mobil sesuka hati, yang tiap tahun bahkan bisa pergi haji ke tanah suci. Tak pernah sedikitpun terbersit dihatinya keinginan memiliki rumah dan mobil mewah, apalagi tanah berhektar-hektar. Yang didambakannya sederhana, yaitu bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa pernah dikejar-kejar hutang. Ia ingin bisa memberikan makan bagi anak dan istrinya tanpa mengalami kesulitan.

Namun ketika kesulitan demi kesulitan selalu saja mengepungnya, Kang Thawil mendapatkan dirinya berubah menjadi seekor cacing kepanasan ditengah terik matahari. Ia mengeliat-geliat kepayahan, jempalitan tak karuan bagai seekor kambing yang baru saja disembelih. Dan itu barangkali yang membuatnya terengah-engah, dari waktu ke waktu.

"Kita mesti sabar Kang. Apapun semua ini telah menjadi kehendak Gusti Kang Murbeng Dumadi. Kita mesti nrimo. Ndak mungkin kita protes dengan kegagalan panen ini. Beliau pasti memiliki alasan sendiri yang tak bisa kita duga. Pasti ada sesuatu yang bisa kita petik dari keadaan ini," tutur istrinya berusaha menghibur.

Kang Thawil hanya diam. Barangkali memang beginilah hidup, demikian ia membatin. Tapi kenapa kehidupan itu tak pernah memberikan ruang kepadanya? Kenapa kehidupan selalu tak mengizinkan dirinya dapat bergerak leluasa, setidaknya untuk hanya sekedar menggerakkan tangan dan kepala?
****

"Saudara-saudara, kita semua memang sedang susah. Banjir menyebabkan kita tak bisa panen tahun ini. Namun satu hal yang ingin saya katakan, anggaplah kesusahan ini ujian dari Tuhan. Bahwa kita ternyata masih dikepung oleh kasih sayang-Nya. Bukankah salah satu pertanda bahwa kita masih diperhatikan oleh-Nya adalah dengan keharusan menjalani laku ujian yang akan menentukan kadar kesetiaan kita masing-masing? Bukankah sangat indah kalau kita semua masih berada dalam naungan perhatian-Nya?" kata khatib dari atas mimbar pada sebuah jumat. Kang Thawil mendengarnya sambil terkantuk-kantuk.

Beberapa waktu yang lalu, seorang kiai muda pernah juga berceramah:
"Cobaan hanya berlaku bagi orang-orang yang sanggup meletakkan diri di wilayah-wilayah keridlaan-Nya. Fungsinya untuk menguji seberapa jauh dan dalam kesetiaan seseorang kepada-Nya. Kalau kemudian ia sukses, patut diacungi jempol bahwa kesetiaannya betul-betul teruji. Dan ia pun meraih predikat yang setingkat lebih tinggi dibanding kedudukan sebelumnya.”

"Dan peringatan adalah sebentuk mekanisme, ketika seorang hamba yang menyatakan diri bersetia kepada-Nya itu tiba-tiba saja terjatuh di jurang yang digali oleh iblis, yang merupakan kebalikan sisi mata uang dari pancaran cahaya. Maka Tuhan dengan bersegera akan menurunkan tangga peringatan kepadanya agar bisa naik kembali ke permukaan, dan ia pun dapat kembali merengkuh cahaya dalam menelusuri jalan panjang kehidupan."

"Kemudian azab merupakan bentuk siksaan. Ia hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah jauh menyebrang dari garis yang ditentukan oleh-Nya. Dan ingatlah, bahwa azab Tuhan itu sangat-sangat pedih."

Kang Thawil masih ingat, ceramah itu disampaikan oleh seorang kiai muda yang sengaja didatangkan ke desanya untuk mengisi acara rutinan di masjid. Dan ia juga ingat betul, betapa ceramah itu disampaikan selang sehari sebelum bencana banjir itu terjadi.

Lantas sekelumit pertanyaan tiba-tiba saja menyelimuti batinnya. Bencana yang beruntun menyelimuti desa ini, mulai angin topan yang memporak-porandakan rumah penduduk, tanah longsor, gunung meletus, gempa bumi, bencana banjir, penyakit yang demikian beraneka ragam, dan entah apa lagi bencana yang akan datang kemudian. Betulkah itu semua merupakan ujian dari Tuhan?

Kang Thawil tiba-tiba memendam semacam kekawatiran. Jangan-jangan semua yang telah berlangsung itu adalah sebentuk peringatan, bahwa kelakuan manusia benar-benar telah melampaui batas. Namun siapa yang bisa menjamin, bahwa semua itu bukan sebentuk azab yang telah diturunkan-Nya?
*****

Kekhawatiran yang demikian memang bukan hal yang tidak berdasar. Kang Thawil sebagai penduduk yang telah mendiami sekian puluh tahun tanah perdesaan itu tentu tahu dengan perilaku kehidupan warga setempat.

Tentang bagaimana sikap orang-orang dalam menjalani kehidupan. Juga perilaku petinggi desa yang sudah tidak lagi mencerminkan pemimpin, bahkan dengan terang-terangan menyatakan sebagai penguasa. Sehingga untuk meraih kekuasaan itu diperlukan berbagai cara, biarpun harus mengorbankan berlembar-lembar rupiah.

Lantas ketika peraturan langit hanya dapat bersuara di kolong-kolong masjid. Ketika kedudukan Tuhan selalu ditempatkan dalam nomor ke sekian dalam setiap urusan. Apakah hal semacam itu belum cukup dijadikan alasan bahwa Tuhan sudah benar-benar telah murka?

Dan kekawatirannya semakin bertambah-tambah, ketika orang-orang bahkan tidak pernah merasa bersalah. Kang Thawil lantas berfikir: Untuk menyadari bahayanya api, haruskah seseorang dibakar sehingga percaya bahwa api memang betul-betul panas dan berbahaya?
****

Apa yang bisa dilakukan oleh Kang Thawil kemudian selain hanya duduk di beranda rumahnya yang reot, sambil menatapi kayu-kayu rumahnya yang telah lapuk dimakan waktu. Sesekali kreteknya itu dipermainkan dengan jemari tangannya yang kering. Genting-genting, meja, kursi, dan semua yang berserakan di halaman rumah itu seolah-olah berbicara kepadanya, buat apa menjadi manusia kalau tak mampu berbuat sebagaimana layaknya manusia.

Ada kalanya ia bermimpi bisa menjadi Nabi, atau Kiai, atau yang remeh-temeh barangkali utusan Tuhan yang ditugasi mengatasi zaman. Tapi apalah artinya manusia macam dia. Manusia yang selalu dicampakkan oleh nasib, yang terpinggirkan oleh kesejahteraan hidup, yang setiap saat terpesona dengan megahnya kata kemakmuran. Sementara sekedar mempertahankan hidup anak istrinya saja ia bahkan selalu dilanda kebingungan.

Kang Thawil akhirnya hanya mampu menerawang, membiarkan dirinya menatap sebuah dunia baru yang sama sekali berbeda, jauh di seberang sana, di ketinggian awan, di pucuk-pucuk langit, sampai kemudian ia disentakkan oleh sebuah suara perempuan, suara istrinya:

"Pak, seragam Iwik sobeknya makin melebar. Pagi tadi ia sudah tidak mau lagi pergi sekolah. Sepertinya ia sudah tak tahan dengan ejekan teman-temannya."

Kang Thawil tersentak. Seketika tersadar bahwa kakinya masih berpijak di bumi. Ia mendesah ketika menyadari bahwa ia memang tak pernah bisa berbuat apa-apa.(*)

Post a Comment

Previous Post Next Post