Banjir di sebuah Sekolah Di Jabar
Banjir di Sebuah Daerah di Jawa Barat (sumber gambar: Liputan6.com)
KOMUNITASNGOPI.com - ALKISAH, dahulu kala hiduplah dua orang raja yang memiliki sifat dan karakter yang berbeda, seorang Raja mukmin dan Raja kafir. Raja mukmin tentu saja sangat dicintai rakyatnya, karena perilakunya yang adil dan selalu menomorsatukan kepentingan rakyat. Sebaliknya, Raja kafir begitu dibenci karena perilakunya yang sewenang-wenang.

Suatu hari, Raja kafir menderita suatu penyakit. Setelah diperiksa oleh tabib istana, satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan penyakit sang raja adalah seekor ikan yang hidup di tengah samudra. Sayangnya, ikan yang dimaksud waktu itu tidak sedang musimnya, sehingga para tabib tak bisa berbuat apa-apa. Disamping sulit, untuk mendapatkan ikan tersebut adalah suatu hal yang mustahil.

Namun Tuhan ternyata berkehendak lain. Tuhan lantas mengutus salah seorang malaikat untuk menggiring ikan-ikan yang dibutuhkan supaya keluar dari lubang di dasar laut, sehingga orang-orang dengan begitu mudah dapat menangkapnya. Para tabib, dan seluruh masyarakat awam tentu saja heran. Mereka menganggap kejadian itu suatu mukjizat luar biasa. Walhasil, ketika ikan itu berhasil ditangkap, Raja segera memakannya. Ia pun sembuh dari sakitnya.

Beberapa waktu kemudian, Raja mukmin juga menderita penyakit yang sama seperti yang dialami Raja kafir. Sebagaimana ihwal Raja kafir, penyakit Raja mukmin pun bisa disembuhkan dengan seekor ikan. Kebetulan, ikan yang dibutuhkan untuk menyembuhkan penyakit sang Raja sedang berada pada musimnya, sehingga membuat para tabib optimis bahwa raja akan segera sembuh karena akan dengan mudah dapat menangkap ikan yang dimaksud.

Namun sekali lagi, Tuhan juga berkehendak lain. Tuhan justru mengutus kepada para Malaikat untuk menggiring ikan-ikan yang sedang berenang di permukaan laut agar masuk kembali ke lubang-lubangnya di dasar laut. Para tabib tentu saja heran. Singkat cerita, ikan-ikan yang mestinya mudah didapatkan untuk obat itu tak bisa diperoleh. Raja pun terus didera penyakit tak sembuh-sembuh.

Para Malaikat dan penduduk bumi tentu saja merasa keheranan. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa ketika Raja kafir membutuhkan ikan itu, dengan begitu mudahnya ikan didapat, padahal keberadaan ikan saat itu tidak dalam musimnya. Sebaliknya, ketika Raja mukmin yang sakit, ikan yang dibutuhkan justru menghilang entah kemana, sedangkan waktu itu adalah musimnya ikan itu muncul ke permukaan.

Dalam kebingungan itu, Tuhan lantas mewahyukan kepada Malaikat langit dan kepada para nabi zaman itu,”Inilah Aku, Yang Pemurah, Pemberi Karunia, Maha Kuasa. Tidak menyusahkan apa yang Aku berikan. Tidak bermanfaat bagiKu apa yang Kutahan. Sedikitpun Aku tak menzalimi siapapun. Adapun Raja yang kafir itu, Aku mudahkan baginya mendapatkan ikan yang bukan musimnya. Dengan begitu, Aku telah membalas kebaikan yang pernah ia lakukan. Aku balas kebaikan itu sekarang, supaya kelak ketika ia datang kepadaKu pada hari kiamat, tidak ada lagi kebaikan-kebaikan pada lembaran amalnya. Ia akan aku masukkan ke neraka karena kekufurannya.”

“Adapun raja yang ahli ibadat itu, Aku tahan ikan pada saat musimnya, karena ia pernah berbuat salah. Aku ingin menghapuskan kesalahan itu dengan menolak kemauannya dan menghilangkan obatnya supaya kelak ketika ia datang padaKu di hari kiamat dalam keadaan suci tanpa dosa. Dan dia pun akan aku masukkan surga dengan rahmatKu.”

****

Sepenggal kisah diatas mungkin sebuah kisah yang ringan. Namun sungguh, mampu menyuguhkan pelajaran amat berharga untuk menjawab segala kebingungan kita tatkala menjumpai hal-hal yang musykil terkait keputusan Tuhan.

Tak dimungkiri, ada banyak kejadian-kejadian dalam kehidupan ini yang membuat manusia mengernyitkan kening. Ada seorang manusia yang begitu tulus hatinya. Ia arungi kehidupan dengan kesadaran bahwa tugas seorang hamba hanya mengabdi kepada tuannya. Sekuat-kuatnya perintah Tuhan dijalankan. Sedangkan larangan dan batasan-batasan selalu diusahakan agar tak diterjang. Namun kenyataannya, hidup orang tersebut ternyata selalu diwarnai kesengsaraan demi kesengsaraan tiada henti.

Pada saat yang sama, ada manusia lain yang berbuat semau-maunya. Jangankan memperhatikan perintah dan larangan, bahkan dengan Tuhan pun sangat berani. Baginya, hidup di dunia adalah segalanya. Menjadi raja adalah segalanya. Sehingga, tak ada kemungkinan lain bagi orang tersebut selain mengarungi kehidupan ini dengan logikanya sendiri. Namun faktanya, secara materi orang tersebut sangat berkecukupan. Setiap keinginannya selalu dipenuhi oleh Tuhan. Para kiai menyebut fenomena ini sebagai istidraj.

Waba’du. Tuhan memang berhak melakukan apa saja. Semusykil apapun keadaan yang menimpa, selalu berprasangka baik pada-Nya, itulah yang terutama. Maka, dalam perjalanan hidup, sedahsyat apapun penderitaan, sesunyi apapun perjalanan, jika jalan yang dipilih adalah jalanNya, itu merupakan rahmat Tuhan tak habis-habis. Dan tak ada alasan bagi kita untuk tidak mensyukurinya.

Terserah Tuhan mau meletakkan kita di mana. Kalau sampai akhir hayat nanti perjalanan hidup ini tetaplah sunyi - dan itu mungkin tak sesuai dengan keinginan kita -, anggaplah kita adalah Raja yang mukmin sebagaimana terukir dalam sepenggal kisah diatas.(*)

Post a Comment

أحدث أقدم